
Dalam konteks budaya dan tradisi, perjodohan masih menjadi praktik yang bisa dianggap biasa di beberapa masyarakat, termasuk bagi yang beragama Islam. Namun, seiring dengan perkembangan zaman dan pemahaman yang semakin berkembang, banyak individu yang mulai mempertanyakan praktik ini, terutama dalam konteks hak dan kebebasan individu.
Dalam Islam sendiri, ada pedoman yang jelas tentang bagaimana menolak perjodohan dengan tata cara yang baik dan tidak melanggar nilai-nilai agama. Meskipun menolak perjodohan dianggap sebagai tindakan yang cukup sensitif di masyarakat, namun Islam mengajarkan untuk melakukannya dengan penuh pertimbangan. Proses penolakan tersebut harus dilakukan dengan menghormati orang tua dan keluarga yang bersangkutan, serta dengan memberikan penjelasan yang baik dan rasional atas alasan penolakan tersebut.
Jika kamu sedang berada dalam situasi di mana kamu sedang dijodohkan dan merasa ragu apakah ingin melanjutkannya atau tidak, ada baiknya untuk membaca artikel berikut yang membahas hukum menolak perjodohan yang sesuai dengan ajaran agama Islam, dan juga cara menolak perjodohan dari sisi psikologi. Semoga artikel ini bisa memberikan pencerahan dalam menghadapi situasi yang kamu alami saat ini, ya!
Tentang Perjodohan
Perjodohan adalah suatu bentuk pernikahan di mana pasangan pengantinnya dipilih oleh pihak lain, seringkali oleh anggota keluarga seperti orang tua. Dalam konteks ini, orang tua atau pihak lain yang terlibat biasanya berperan untuk memilih pasangan hidup untuk individu yang akan menikah. Keputusan mengenai calon pasangan seringkali didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan tertentu, seperti latar belakang keluarga, pendidikan, status sosial, dan nilai-nilai budaya atau agama yang sering kali dianggap penting oleh pihak yang melakukan perjodohan.
Perjodohan bisa terjadi di berbagai budaya dan tradisi di seluruh dunia, meskipun tingkat penerimaannya bisa bervariasi di antara kelompok masyarakat yang berbeda. Dalam beberapa kasus, perjodohan dipandang sebagai cara untuk meneruskan tradisi keluarga atau untuk memperkuat hubungan antara keluarga-keluarga tertentu. Namun, dalam konteks modern, praktik perjodohan seringkali menjadi bahan perdebatan karena dianggap melanggar hak individu untuk memilih pasangan hidup secara bebas.
Pasal 6 ayat (1) dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menegaskan bahwa perkawinan harus didasarkan atas persetujuan dari kedua calon mempelai. Ayat ini juga menjelaskan bahwa perkawinan harus disetujui oleh kedua belah pihak yang melangsungkan perkawinan tanpa adanya tekanan atau paksaan dari pihak mana pun. Hal ini dikarenakan tujuan dari perkawinan adalah agar suami dan istri dapat membentuk sebuah keluarga yang abadi dan bahagia, yang sejalan dengan prinsip-prinsip hak asasi manusia.
Pentingnya persetujuan dari kedua belah pihak dalam perkawinan menegaskan prinsip otonomi individu dan penghargaan terhadap kehendak pribadi dalam memilih pasangan hidup. Dengan memastikan bahwa perkawinan didasarkan pada kesepakatan dan keinginan bersama dari kedua individu yang terlibat, hal ini diharapkan dapat menciptakan dasar yang kuat bagi hubungan yang harmonis dan berkelanjutan di dalam rumah tangga.
Dalam konteks Islam, perjodohan tidak secara tegas dilarang oleh syariat Islam, dan juga diperbolehkan. Sebuah riwayat mencatat bahwa Umar bin Khaththab radhiyallahu 'anhu, salah satu sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, pernah menjodohkan anak perempuannya, Hafshah radhiyallahu 'anha, yang pada saat itu baru saja menjadi janda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bahkan Rasulullah pun kala itu dijodohkan dengan Aisyah radhiyallahu 'anha pada saat Aisyah masih kecil, dan baru tinggal dengan Rasulullah saat sudah baligh. Riwayat ini menunjukkan bahwa praktik perjodohan tidak dianggap sebagai suatu pelanggaran syariat dalam Islam.
Perjodohan tidak Boleh Dipaksakan
Dalam Islam, aturan dan tata cara pernikahan telah diatur secara jelas, termasuk persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi dan prosedur yang harus diikuti. Salah satu persyaratan utama dalam pernikahan dalam Islam adalah adanya keridhaan atau persetujuan dari kedua calon mempelai.
Dalam konteks perjodohan, jika terdapat unsur paksaan terhadap salah satu pihak, baik dari pihak calon mempelai sendiri maupun dari pihak lain seperti keluarga, maka status pernikahan yang akan dilakukan di kemudian hari tidak akan dianggap sah menurut ajaran Islam. Hal ini karena pernikahan dalam Islam harus didasarkan pada kehendak dan kerelaan dari kedua belah pihak yang terlibat.
Pemaksaan atau tekanan untuk menikah melanggar prinsip-prinsip dasar keadilan, kebebasan, dan hak asasi manusia yang dijunjung tinggi dalam ajaran Islam. Oleh karena itu, dalam konteks pernikahan, keridhaan dan persetujuan dari kedua calon mempelai dianggap sangat penting untuk memastikan bahwa perkawinan tersebut dibangun di atas dasar kasih sayang, keterbukaan, dan kesepakatan bersama.
Dalam sebuah hadits dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Tidak boleh menikahkan seorang janda sebelum dimusyawarahkan dengannya dan tidak boleh menikahkan anak gadis (perawan) sebelum meminta izin darinya. Mereka bertanya, Wahai Rasulullah, bagaimana mengetahui izinnya? Beliau menjawab, Dengan ia diam.” (HR. Al-Bukhari no. 5136 dan Muslim no. 1419)
Dalam hadis tersebut, Rasulullah menyatakan bahwa tidak boleh menikahkan seorang janda tanpa meminta musyawarah atau membuat kesepakatan terlebih dahulu dengannya, dan tidak boleh menikahkan seorang gadis perawan tanpa meminta izin darinya. Ketika para sahabat bertanya bagaimana cara mengetahui izinnya, Rasulullah menjawab bahwa dengan diamnya sang gadis, itu sudah menjadi pertanda izin dari pihaknya.
Di zaman sebelum Islam, praktek perjodohan seringkali dilakukan tanpa memperhitungkan keinginan atau persetujuan wanita. Wanita tidak memiliki hak untuk menolak atau memilih lamaran yang diajukan oleh wali mereka, dan seringkali dipaksa untuk menikah tanpa memperhatikan kehendak mereka sendiri. Namun, setelah munculnya ajaran Islam dan penyebarannya di Arab, posisi dan hak wanita dalam proses pernikahan mengalami perubahan signifikan. Al-Qur'an dan hadits pun secara jelas menegaskan pentingnya persetujuan dan kehendak dari kedua belah pihak dalam pernikahan, termasuk hak wanita untuk menolak atau memilih lamaran yang diajukan kepada mereka.
Hal ini menunjukkan bahwa dalam Islam, proses pernikahan seharusnya melibatkan komunikasi terbuka antara kedua calon mempelai, di mana mereka saling mendiskusikan dan mempertimbangkan keputusan tersebut dengan sungguh-sungguh. Persetujuan dari kedua belah pihak tidak boleh diabaikan atau dianggap remeh, karena hal ini mencerminkan penghargaan terhadap kehendak dan kehormatan individu dalam ajaran Islam, juga menekankan pentingnya menjalani proses pernikahan dengan penuh kesadaran, persetujuan, dan kesepakatan dari kedua belah pihak, sebagai bentuk dari keadilan, martabat, dan kasih sayang yang dijunjung tinggi dalam agama Islam.
Bolehkah Menolak Perjodohan?
Dalam Islam, seseorang memiliki hak untuk menolak perjodohan yang diajukan oleh pihak lain, termasuk oleh keluarga atau orang tua. Prinsip dasarnya adalah bahwa pernikahan seharusnya didasarkan pada persetujuan dan kerelaan dari kedua calon mempelai, sesuai dengan ajaran Islam yang menekankan pentingnya kebebasan dan kehendak individu dalam memilih pasangan hidup.
Al-Qur'an dan hadits menegaskan pentingnya persetujuan dari kedua belah pihak dalam pernikahan. Sebagai contoh, dalam Surah An-Nisa ayat 19 yang berbunyi:
"Wahai orang-orang yang beriman, kamu tidak boleh memaksakan anak-anak perempuanmu untuk menikah dengan orang yang tidak dikehendaki oleh mereka."
Ayat Ini dengan tegas menjelaskan bahwa memaksa seseorang untuk menikah tanpa persetujuannya adalah bertentangan dengan ajaran agama Islam. Selain itu, hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga menegaskan tentang adanya hak individu yang harus diperhatikan ketika menolak perjodohan yang tidak diinginkan. Dalam sebuah hadits yang disampaikan oleh Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
"Tidak boleh menikahkan seorang wanita dengan seseorang yang tidak disukainya." (HR. Bukhari dan Muslim)
Apabila seorang anak sudah berusia 9 tahun ke atas, sang ayah wajib meminta izin kepada anak perempuannya untuk dijodohkan. Jika sang ayah atau walinya menikahkan putrinya tanpa seizin dari putri tersebut, maka pernikahan tersebut tidak sah, karena salah satu syarat sahnya pernikahan adalah adanya kesepakatan atau keridhaan dari kedua belah pihak, baik laki-laki maupun perempuan.
Begitupun bagi pihak laki-laki atau calon suami, jika mengetahui bahwa perempuan yang ingin dinikahinya tidak menyukainya, maka sebaiknya ia tidak melanjutkan langkah untuk menikahinya, meskipun ayahnya bersikap toleran terhadapnya.
Maka dari itu, dalam Islam, seseorang memiliki hak untuk menolak perjodohan dan memilih pasangan hidup sesuai dengan keinginannya sendiri. Ini menunjukkan bahwa dalam ajaran Islam, prinsip kebebasan, persetujuan, dan kesepakatan dalam pernikahan sangat ditekankan, dan memaksa seseorang untuk menikah tanpa persetujuannya adalah dilarang secara agama.
Cara Menolak Perjodohan dari Sisi Psikologi
Seringkali orang tua sudah bergerak lebih dulu ketika akan menjodohkan anaknya, tanpa memberitahukan dahulu kepada sang anak tentang adanya perjodohan tersebut. Jika kamu berada dalam situasi ini dan ingin menolak perjodohan yang diajukan, ada beberapa cara yang bisa digunakan untuk menolak dengan baik dan sopan. Dari sisi psikologi, berikut beberapa cara yang bisa kamu lakukan untuk menolak saat “terjebak” dalam kondisi perjodohan:
Tetap Tenang, Jangan Emosi
Sebelum menolak perjodohan dengan emosi dan atau dengan perasaan kesal, yang terpenting adalah kamu menjaga ketenangan diri terlebih dahulu. Memahami situasi dengan pikiran yang jernih bisa membantu kita mengambil keputusan yang lebih baik dan lebih bijaksana. Kamu juga sebaiknya tidak menutup diri dari orang tua, karena komunikasi yang terbuka dan jujur adalah kunci dalam menyelesaikan masalah. Orang tua tentu ingin yang terbaik untuk kamu, dan dengan berbicara secara terbuka, tentu kamu bisa lebih memahami alasan di balik perjodohan yang mereka ajukan. Mungkin ada pertimbangan atau keinginan tertentu yang belum kamu ketahui.
Sebelum membuat keputusan, penting untuk mencari tahu maksud orang tua untuk menjodohkan kamu. Mungkin ada hal-hal yang belum kamu pahami atau pertimbangan yang perlu dipertimbangkan. Jika pada saat itu kamu sudah memiliki pasangan, bicarakanlah hal ini dengan orang tua. Memberitahu mereka tentang hubungan yang sedang kamu jalani bisa membuka pintu untuk diskusi yang lebih baik dan memungkinkan kita untuk menemukan solusi yang saling menguntungkan.
Belum Siap Menikah
Pada dasarnya, tujuan dari perjodohan adalah untuk menikah, tapi penting bagi setiap individu baik pihak perempuan maupun laki-laki untuk merasa siap secara fisik, emosional, dan mental sebelum melangkah ke dalam ikatan pernikahan. Jika kamu merasa belum siap untuk menikah, sebaiknya diskusikan lagi hal ini dengan orang tua kamu secara baik-baik. Penting untuk menjelaskan alasan kamu kepada mereka dan meminta pengertian mereka.
Agar orang tua tidak terlalu merasa kecewa, cobalah untuk berbicara dengan mereka dengan mempertimbangkan waktu dan suasana yang tepat. Hindari menolak perjodohan secara langsung, dan mintalah waktu untuk berdiskusi dengan sopan. Jika kamu merasa lebih dekat dengan salah satu dari orang tua kamu, coba bicarakan terlebih dahulu dengan mereka. Setelah kamu mendapatkan pengertian dari salah satu orang tua, barulah komunikasikan ke yang lainnya alasan kamu menolak perjodohan tersebut. Dengan komunikasi yang terbuka, hormat, dan penuh pengertian, diharapkan kamu dan orangtua bisa mencapai kesepakatan yang saling menguntungkan dan memahami satu sama lain.
Beda Prinsip
Jika kamu memutuskan untuk lebih mengenal pasangan yang dijodohkan, penting untuk menilai apakah pandangan hidup kamu sejalan atau tidak dengan orang tersebut. Meskipun pandangan orang tua bisa saja baik karena didasarkan pada pertimbangan keluarga, tetaplah penting untuk mengevaluasi kesesuaian pandangan hidup antara kamu dan pasangan yang dijodohkan.
Tapi jika kamu dan pasangan yang dijodohkan memiliki prinsip hidup atau pandangan hidup yang berbeda, penting untuk membicarakannya kembali dengan orang tua kamu. Bicarakan secara terbuka dan jujur alasan mengapa kamu merasa tidak cocok dengan pasangan tersebut. Jelaskan dengan baik bahwa perbedaan prinsip hidup ini dapat mempengaruhi keharmonisan hubungan di masa depan.
Namun, dalam menyampaikan penolakan terhadap perjodohan, kamu harus memperhatikan kata-kata yang akan disampaikan, karena haruslah dengan baik dan sopan. Hindari menggunakan nada atau bahasa yang menyinggung perasaan orang tua kamu. Berikan penjelasan yang rasional dan hormati pandangan serta perasaan mereka.
Butuh Waktu untuk Berkenalan
Kunci utama dalam hubungan antara orang tua dan anak adalah keterbukaan. Tidak boleh ada yang tertutup, dan kehendak tidak boleh dipaksakan kepada satu sama lain. Jika kamu merasa perlu waktu untuk lebih mengenal calon pasangan yang dijodohkan, sampaikanlah hal ini kepada orangtua dengan jujur.
Menemukan jalan tengah adalah hal yang bijaksana dalam menghadapi situasi seperti ini. Misalnya, kamu bisa mengajukan permintaan untuk diberi waktu untuk lebih mengenal pasangan yang dijodohkan atau memberi batasan usia tertentu sebelum mempertimbangkan pernikahan. Dengan mengambil jalan tengah, kamu bisa menghormati keinginan orang tua kamu, dan kamu pun memberi diri kamu sendiri kesempatan untuk membuat keputusan yang tepat berdasarkan pengalaman dan pemahaman yang lebih baik tentang calon pasangan.
Mau Cari Sendiri
Setiap anak mempunyai hak untuk menolak perjodohan, namun tetap penting untuk mendengarkan pendapat dan pertimbangan orang tua dengan penuh hormat. Sebaliknya, orang tua pun boleh memiliki calon pasangan untuk anak, namun tetap tidak boleh memaksakan kehendak mereka kepada sang anak.
Meskipun kamu merasa berat hati, penting untuk tidak menolak perjodohan tanpa alasan yang jelas. Jika kamu ingin mencari pasangan hidup sendiri, kamu perlu membicarakan hal ini dengan orang tua kamu dan menjelaskan kriteria serta harapan pribadi kamu terhadap calon pasangan. Dengan membuka diri dan berbicara dengan terbuka, kamu bisa mencapai pemahaman bersama dengan orang tua dan menghindari konflik yang tidak perlu.
Itu tadi penjelasan tentang hukum perjodohan dalam agama Islam dan bagaimana cara menolak perjodohan dari sudut pandang psikologi. Semoga informasi di atas bisa memberikan pemahaman yang lebih baik dan membantu kamu dalam mengambil keputusan yang tepat untuk jodoh di masa depan kamu. Semangat!
Foto cover: Imagenic