Pilih Kategori Artikel

Membedah Keagungan Pengantin Adat Jawa (Solo vs. Jogja)
Diskon dan Penawaran Eksklusif Menantimu!
Kunjungi WeddingMarket Fair 24 -26 October 2025
di Balai Kartini (Exhibition & Covention Center)

Pernah tidak kamu ngerasain suasana magic di sebuah pernikahan adat Jawa? Jauh sebelum tamu datang, ada satu ritual hening di kamar rias. Wangi dupa dan kembang setaman bercampur di udara. Di situ, seorang calon pengantin duduk diam, matanya merem, tangannya ditangkupkan. Di depannya, seorang Pemaes (maestro rias) dengan tangan yang begitu lihai, mulai melukis doa di dahinya. Ini bukan make-up biasa, ini adalah ritual.

Nah, pas kita ngomongin "Pengantin Adat Jawa", sebenarnya kita tidak ngomongin satu gaya aja. Yang kita lihat itu adalah warisan keren yang "terbelah", sebuah kisah dua kerajaan besar yang dulunya satu rahim: Surakarta (Solo) dan Yogyakarta (Jogja). Gara-gara Perjanjian Giyanti tahun 1755, Mataram Islam terbelah menjadi dua. 

Sejak itu, dua keraton ini punya "bahasa" budayanya masing-masing. Kerennya, dua-duanya sama-sama agung, sama-sama dalam filosofinya, tapi cara mereka "ngomong" lewat visual itu beda. Gampangnya, gaya Solo (Kasunanan) itu vibe-nya lebih lembut, luwes, dan tenang. Sementara gaya Jogja (Kasultanan) rasanya lebih kokoh, gagah, dan megah.

Buat kita yang awam, mungkin kelihatannya mirip: "Oh, sama-sama pake kebaya beludru item, sanggulan, terus dahinya diitemin." Tapi, buat yang mengerti, tiap detail kecilnya itu beda banget. Dari bentuk lukisan di dahi (paes), arah jatuhnya melati (tibo dodo), sampai cara melipat kain di pinggang. Artikel ini bakal jadi "kamus" buat kamu. Kita bakal mengintip bareng apa sih bedanya dan apa persamaannya pernikahan adat Jawa Solo dan Jogja. Biar kita paham, sebenarnya pesan apa yang ingin disampaikan lewat dandanan sang Ratu Sehari ini.

Jantung Filosofi: Paes, Lukisan Doa di Dahi

Ini dia bagian paling ikonik dan paling gampang buat membedakan pernikahan adat Jawa Solo dan Jogja: paes alias lukisan di dahi. Dua-duanya sama-sama "diagram" doa, tapi inspirasi dan bentuknya beda.

1. Paes Solo Putri: Keindahan Runcing Daun Sirih

wm_article_img
Foto via Marlene Hariman

Paes Solo itu ibarat tarian yang luwes.

  • Warna: Item legam pekat. Bahannya dari pidih, ramuan tradisional yang dihalusin.

  • Inspirasi: Bentuk utamanya ngambil dari daun sirih. Kenapa daun sirih? Karena daun ini simbol cinta kasih dan doa yang baik.

  • Bentuk Lekukannya:

Gajahan (Panunggul): Ini yang paling gede, di tengah dahi. Bentuknya paling runcing, kayak kuncup bunga yang mau mekar atau gunungan wayang. Artinya dalem banget: harapan biar si istri nanti selalu ngutamain Tuhan dan derajatnya ditinggikan.

Pengapit: Dua lekukan runcing yang ngejaga si Gajahan di kiri-kanannya. Ini simbol kontrol diri. Gampangnya, ini adalah "rem" biar si istri tidak gampang emosi dan langkahnya selalu ngikutin Gajahan (Tuhan).

Penitis: Dua lekukan terkecil dan paling runcing di samping Pengapit. Ini doa biar si istri jadi orang yang titis (tepat sasaran), pinter ngambil keputusan, hemat ngatur duit keluarga, dan fokus.

Godheg: Lekukan cantik yang ngebingkai pelipis. Ini simbol rendah hati dan bijak, alias mau dengerin nasihat baik (terutama dari suami).

Karakter Khas: Tajam, runcing-runcing, dan membingkai wajah dengan super anggun.

2. Paes Jogja Putri (Corak Ageng): Keagungan Lembut Kuncup Bunga

wm_article_img
Foto via Marlene Hariman

Nah, kalo Paes Jogja buat pernikahan adat Jawa, auranya beda: lebih megah dan kokoh, tapi tetap lembut.

  • Warna: Secara tradisi, paes Jogja itu warnanya hitam kehijauan dengan kilau emas samar. Ini karena pidih-nya dicampur prada (serbuk emas). Kelihatan mewah banget!

  • Inspirasi: Bentuknya ngambil dari kuncup bunga (terutama melati) dan kotak-kotak wajik.

  • Bentuk Lekukannya:

  1. Gajahan: Sama-sama di tengah dan paling besar. Tapi, bentuknya lebih tumpul dan bulet di ujungnya, kayak kuncup melati. Ini simbol kesucian dan kemurnian.

  2. Pengapit: Mengapit Gajahan, bentuknya juga lebih tumpul.

  3. Penitis: Ini beda banget! Penitis Jogja bentuknya kayak daun sirih kecil yang utuh, bukan cuma goresan.

  4. Godheg: Punya bentuk khas yang disebut Wajikan, yaitu bentuk belah ketupat (wajik) yang tegas di pelipis. Simbol ketegasan dan pikiran yang tajam.

  • Karakter Khas: Bentuknya lebih tumpul, warnanya ada kilau emas kehijauan, dan ada wajikan di pelipis.

Mahkota Sang Ratu: Sanggul dan Aksesori Kepala

Setelah paes pernikahan adat Jawa, kita naik dikit ke sanggul dan hiasan kepala. Di sini juga beda banget.

wm_article_img
Foto via Yayuk Paes

Gaya Surakarta (Solo):

  • Sanggul: Menggunkan Sanggul Bokor Mengkurep. Bentuknya besar dan membulat, seperti bokor (mangkuk) yang ditelungkupkan (mengkurep). Filosofinya, istri itu ibarat wadah yang bermanfaat buat keluarga, tapi tetep rendah hati (nunduk/nelungkup).

  • Cunduk Mentul: Ini hiasan tusuk konde yang goyang-goyang. Jumlahnya ganjil, biasanya tujuh (7) atau sembilan (9). Tujuh itu pitulungan (pertolongan), sembilan itu Walisongo (wali sembilan).

  • Tibo Dodo: Untaian melati yang menjuntai dari sanggul. Kalo gaya Solo, melatinya jatuh di dada sebelah KIRI. Simbolnya, si istri harus selalu "eling" (inget) di hati kirinya.

  • Centhung: Hiasan kecil kayak gerbang di atas telinga (kanan-kiri), simbol masuk ke gerbang kehidupan baru.

Gaya Yogyakarta (Jogja):

wm_article_img
Foto via Yayuk Paes

  • Sanggul: Menggunakan Sanggul Tekuk. Bentuknya lebih pipih, padat, dan kaku (tidak membulat seperti Solo). Simbol kepatuhan dan ketegasan.

  • Cunduk Mentul: Jumlahnya ganjil, biasanya tiga (3) atau lima (5). Tiga itu Trimurti, lima itu Pancasila atau rukun Islam.

  • Tibo Dodo: Ini beda fatalnya! Kalo gaya Jogja, untaian melati jatuh di dada sebelah kanan. Simbolnya, si istri harus selalu pake "akal sehat" dan "tangan kanan" (kebaikan) kalo bertindak.

Busana Kebesaran: Kebaya vs. Dodot

Oke, sekarang kita turun ke baju pernikahan adat Jawa Solo dan Jogja. Dua-duanya punya dua "level" baju: Baju Putri (yang ketutup) dan baju Basahan/Paes Ageng (yang sakral dan lebih terbuka).

1. Versi Tertutup: Solo Putri dan Jogja Putri

wm_article_imgwm_article_img

Foto via Biyan The GalleryOmi Makeup Artist

Ini yang paling sering kita lihat di resepsi modern.

  • Atasan: Kelihatannya sama, menggunakan kebaya beludru panjang (item, biru tua, ijo tua) yang ada hiasan benang emas di pinggirnya.

  • Bawahan: Sama-sama menggunakan jarik (kain batik) yang dilipet-lipet di depan (wiron).

  • Bedanya di mana?

    • Batik: Corak batik pakemnya beda. Solo sering menggunakan motif Sido Asih atau Truntum. Jogja identik sama corak Grompol (biar banyak rezeki dan anak) atau Sido Luhur.

    • Lipetan Wiron: Lipetan wiron Solo lebih kecil dan luwes. Lipetan wiron Jogja (namanya Seret) lebih gede, kaku, dan tegas. Kelihatan banget karakternya.

2. Versi Sakral: Solo Basahan dan Jogja Paes Ageng

wm_article_imgwm_article_img

Foto via TH Photo Semarang | Estin NK

Ini dia baju pengantin tertua dan paling sakral pernikahan adat Jawa, biasanya dipake pas prosesi adat inti kayak Panggih.

  • Busana: Keduanya tidak menggunakan kebaya. Pengantin (laki-laki dan wanita) menggunakan kain dodot atau kampuh, kain batik super gede yang dililitkan ke badan seperti kemben. Bahunya kebuka dan dilulur kuning langsat (boreh).

  • Filosofi: Ini simbol pasrah diri, suci, dan balik ke fitrah. Pengantin didandani kayak Raja dan Ratu kahyangan.

  • Bedanya:

    • Paes Jogja di sini lebih rumit lagi, prada emasnya lebih banyak.

    • Aksesorisnya lebih "berat" dan megah, seperti kelat bahu (gelang di lengan atas) dan pending (gesper gede).

Gimana dengan Si Cowok (Kakung)?

wm_article_imgwm_article_img

Foto via Taridonolobo

Bedanya tidak cuma di si cewek. Si cowok juga punya identitas yang jelas.

  • Blangkon (Penutup Kepala):

    • Solo: Belakangnya rata/datar (trepes).

    • Jogja: Belakangnya ada benjolan (mondolan), seperti tempat ikat rambut.

  • Beskap (Atasan):

    • Solo: Menggunakan Beskap Langenharjan, kancingnya miring (biar gampang nyelipin keris).

    • Jogja: Menggunakan Beskap Atella, kancingnya lurus di tengah (terinspirasi seragam Belanda).

  • Keris:

    • Solo: Keris di belakang, posisinya condong ke kanan.

    • Jogja: Keris di belakang, posisinya tegak lurus di tengah.

Jadi, Milih yang Mana?

wm_article_img
Fotografi: Imagenic

Pada akhirnya, pernikahan adat Jawa Solo atau Jogja itu bukan soal mana yang lebih bagus. Dua-duanya adalah mahakarya. Dua-duanya bawa doa dan filosofi yang sama: harapan buat pernikahan yang dasarnya adalah iman, kebijaksanaan, dan harmoni.

Memilih di antara keduanya itu soal selera "rasa". Tata rias pengantin Solo, berarti kamu memilih keanggunan yang lembut dan luwes. Tata rias pengantin Jogja, berarti kamu memilih keagungan yang kokoh dan gagah. Lebih dari sekadar dandanan, jadi pengantin adat Jawa itu adalah proses "menjadi". Jadi pribadi yang lebih bijak, lebih agung, dan lebih utuh buat mulai babak baru dalam hidupmu bersama pasangan.

Setiap detailnya, dari busana, riasan, hingga prosesi adat bukan cuma hiasan luar, tapi simbol perjalanan spiritual menuju kesempurnaan cinta. Jadi, apa pun pilihanmu, Solo atau Jogja, pastikan kamu menjalaninya dengan sepenuh hati. Karena pada akhirnya, yang membuatnya indah bukan hanya adatnya, tapi makna di balik setiap langkah menuju pelaminan.

Kalau kamu masih mencari vendor pernikahan adat impianmu, temukan semuanya dengan mudah di WeddingMarket. Dari rias, busana, hingga dekorasi, semuanya siap membantu mewujudkan hari bahagiamu dengan sentuhan tradisi yang elegan.


Cover | Foto via Marlene Hariman


Diskon dan Penawaran Eksklusif Menantimu!
Kunjungi WeddingMarket Fair 24 -26 October 2025
di Balai Kartini (Exhibition & Covention Center)

Article Terkait

Loading...

Article Terbaru

Loading...

Media Sosial

Temukan inspirasi dan vendor pernikahan terbaik di Sosial Media Kami

Loading...