Pernah kebayang nggak, ada sebuah riasan pengantin yang proses bikinnya aja butuh doa dan puasa? Bukan make-up biasa, tapi sebuah ritual hening di mana seorang wanita didoakan lewat goresan-goresan di dahinya. Di sebuah ruangan yang wangi dupa dan kembang, seorang ibu sepuh (Pemaes) dengan tangan mantap melukiskan cairan hitam pekat ke dahi si calon pengantin. Goresan itu bukan buat cantik-cantikan doang. Itu adalah aksara kuno, sebuah doa yang dilukis, yang mengubahnya dari gadis biasa menjadi Putri dalam semalam.
Paes, inilah jantung dari tata rias pengantin Solo Putri. Buat banyak orang, Solo Putri Paes itu goal keanggunan wanita Jawa. Riasan dahi hitam legam, sanggul bokor mengkurep yang megah, plus untaian melati tibo dodo yang menjuntai. Tapi, apa yang kamu lihat sebagai sesuatu yang cantik itu, sebenarnya adalah "kitab" filosofi yang hidup. Setiap lekukan, setiap warna, setiap tusuk kembang yang nempel, itu semua adalah simbol yang maknanya dalem banget. Sebuah untaian harapan tentang gimana seharusnya seorang istri menjalani hidupnya.
Artikel ini bakal ngajak kamu "ngebaca" setiap goresan paes itu. Kita nggak cuma bakal kagum, tapi juga ngerti filosofi di baliknya. Kenapa sih riasan ini sakral banget? Kenapa yang ngerias harus puasa dulu? Dan kenapa setiap lekukannya adalah doa? Yuk, kita bedah bareng.
Solo Putri vs Solo Basahan: Biar Nggak Salah Paham


Oke, sebelum kita lanjut, penting banget buat ngerti bedanya dua "gaya" utama pengantin Solo ini. Biar kamu nggak bingung.
1. Paes Solo Basahan
Ini gaya yang paling tua, paling sakral. Sering juga disebut Dodotan. Cirinya, pengantinnya pakai kain dodot (kemben agung) tanpa kebaya. Bahunya kelihatan, dibalur lulur kuning langsat. Paesnya menggunakan pdidih berwarna hijau atau lotho. Biasanya, busana ini dipakai pas prosesi inti adat kayak Panggih (pertemuan pengantin).
2. Solo Putri
Nah, ini gaya yang "lebih baru" dan lebih tertutup. Si pengantin pakai kebaya beludru panjang (biasanya hitam atau biru tua) yang nutupin bahu, dipaduin sama jarik (kain batik). Paesnya berwarna hitam pekat. Solo Putri ini sering dipakai pas acara Ngunduh Mantu (resepsi di pihak cowok) atau resepsi modern karena kelihatan lebih sopan dan praktis.
Walaupun bajunya beda, filosofi dan bentuk paes (riasan dahi) mereka itu intinya sama. Nah, kita bakal fokus ngebahas si paes-nya ini.
Ngerik dan Midodareni: Persiapan "Mental" Sang Calon Putri

Keagungan paesnya Solo Putri itu nggak ujug-ujug dimulai pas si pidih (cairan hitam) digoresin. Prosesnya dimulai semalem sebelumnya, di malam sakral yang namanya Malam Midodareni. Di malam ini, si calon pengantin cewek "disiapin" buat hari besarnya. Dia nggak boleh tidur semalaman, cuma boleh berdoa dan ngaca diri di kamar. Konon katanya, di malam inilah para bidadari (widodari) dari langit turun buat "minjemin" kecantikan surgawi mereka ke si gadis.
Di malam ini juga, prosesi Ngerik dimulai. Ini adalah ritual di mana sang Pemaes (penata rias) bakal ngebersihin dan nyukur rambut-rambut alus (sinom) di dahi, tengkuk, dan cambang. Tujuannya? Bukan cuma biar paes-nya nempel bagus. Ngerik itu simbol ngebersihin diri, ngebuang semua yang jelek-jelek dari masa lalu, dan "ngebuka aura" si pengantin biar cahaya dari dalam dirinya itu keluar.
Sang Pemaes: Tangan yang Jadi Perantara Doa

Yang boleh ngelukis paes Solo Putri itu bukan sembarang MUA (Make Up Artist), lho. Dia adalah seorang Pemaes, seorang maestro yang nggak cuma jago teknis, tapi juga "mateng" secara spiritual. Pemaes keraton yang asli itu biasanya ngejalanin "laku prihatin", kayak puasa mutih atau puasa Senin-Kamis sebelum hari H.
Kenapa segitunya? Soalnya mereka percaya, tangan yang bakal ngelukis simbol-simbol sakral itu harus bersih, suci, dan penuh energi baik. Pas lagi memaes, mereka itu sebenernya nggak lagi make-up. Mereka lagi berdoa. Setiap goresan pidih itu adalah rapalan doa dan harapan buat kebahagiaan si pengantin.
Anatomi Solo Putri Paes: "Membaca" Doa di Setiap Lekukan

Ini dia intinya. Paes hitam di dahi si putri itu bukan hiasan abstrak. Itu adalah sebuah diagram yang punya empat (kadang lima) bagian utama. Masing-masing punya nama dan filosofi yang dalem banget, terinspirasi dari bentuk daun sirih yang jadi lambang cinta kasih.
1. Gajahan (atau Panunggul)
- Bentuknya: Ini lekukan yang paling gede, paling tengah, dan paling atas di dahi. Bentuknya kayak gunungan di wayang kulit, atau ada juga yang bilang kayak kuncup bunga yang mau mekar.
- Artinya: Gajahan itu dari kata "gajah", hewan yang dihormati, lambang keagungan. Panunggul itu artinya "yang tertinggi". Ini adalah simbol dari satu tujuan paling tinggi: Tuhan Yang Maha Esa. Doanya, biar si pengantin cewek ini selalu naruh Tuhan di nomor satu dalam rumah tangganya. Sekaligus, ini harapan biar dia dihormati, ditinggiin derajatnya, dan punya kebijaksanaan kayak seorang ratu.
2. Pengapit
- Bentuknya: Dua lekukan yang lebih kecil dan runcing, persis di kiri-kanan Gajahan. Arahnya kayak lagi "ngunci" atau "ngejaga" si Gajahan.
- Artinya: Pengapit itu "penjaga" atau "pendamping". Ini adalah simbol kontrol diri. Gampangnya, ini gambaran dua kekuatan di diri kita (baik-buruk, kanan-kiri) yang harus seimbang. Pengapit ini jadi "rem" biar si istri nanti selalu inget sama Gajahan (Tuhan), nggak gampang goyah sama emosi atau hasutan.
3. Penitis
- Bentuknya: Dua lekukan kecil di sebelah luar Pengapit.
- Artinya: Penitis dari kata titis, yang artinya tepat sasaran, fokus, cermat. Ini doanya biar si pengantin jadi pribadi yang pinter mikir, cermat ngambil keputusan, pinter ngatur duit keluarga, dan selalu fokus sama tujuan rumah tangganya. Dia harus bisa "nitis" mana yang bener mana yang salah.
4. Godheg (atau Cethik)
- Bentuknya: Lekukan yang melengkung cantik di pelipis, ngebingkai wajah, dan ngarah ke pangkal telinga.
- Artinya: Godheg ini simbol kerendahan hati dan kebijaksanaan. Harapannya, si istri nanti jadi wanita yang "eling lan waspada" (selalu inget dan waspada), pinter bawa diri, dan yang paling penting, mau dengerin nasihat baik (terutama dari suami dan orang tua) dan nyaring jauh-jauh omongan jelek.
Jadi, kalau "dibaca" dari tengah ke samping, Solo Putri Paes itu sebuah doa utuh: "Semoga kamu (pengantin) jadi wanita yang selalu inget Tuhan (Gajahan), bisa ngontrol diri (Pengapit), cermat dan fokus (Penitis), serta rendah hati dan bijak (Godheg)."
Melengkapi Keagungan: Sanggul dan Aksesori

Paes tadi nggak sendirian. Dia adalah bagian dari satu kesatuan riasan kepala yang keren banget.
- Sanggul Bokor Mengkurep: Sanggul khas Solo ini bentuknya kayak bokor (mangkuk) yang ditelungkupin (mengkurep). Artinya, si istri diharapkan jadi wadah yang bermanfaat buat keluarga, tapi tetep rendah hati (menelungkup).
- Cunduk Mentul: Ini hiasan tusuk konde yang goyang-goyang (mentul-mentul). Jumlahnya harus ganjil, biasanya tujuh atau sembilan. Tujuh itu lambang pitulungan (pertolongan), sembilan itu lambang Walisongo (penyebar kebaikan).
- Tibo Dodo: Untaian melati yang panjang banget, dari sanggul di belakang telinga sampe nyentuh dada. Ini simbol kesucian hati, keharuman nama, dan kesetiaan seorang istri yang "terikat" sama suaminya.
Solo Putri Paes dan Hijab: Evolusi Sebuah Tradisi

Di zaman sekarang, gimana caranya paes yang sakral ini ketemu sama hijab? Kayak budaya Betawi, budaya Jawa juga nemu jalannya sendiri. Para Pemaes modern nggak kaku, mereka berinovasi.
- Tantangannya: Paes kan dilukis di kulit dahi yang kebuka. Sanggul juga dari rambut asli.
- Solusinya: Paes nggak lagi dilukis di kulit, tapi di atas ciput (inner hijab) yang bahannya warna kulit. Pidih-nya diganti cat kain atau bahkan bordiran yang presisi. Sanggul asli diganti tatanan hijab yang dibentuk mirip siluet Bokor Mengkurep di belakang, baru dipasangin cunduk mentul dan tibo dodo.
Bagi sebagian orang, ini mungkin ngurangin sakralnya. Tapi buat banyak orang, ini bukti kalau budaya Jawa itu luwes. Filosofi dan doa dari Gajahan, Pengapit, dan Penitis itu tetep sampai, nggak peduli dilukis di media apa.
Lukisan Doa yang Nggak Bakal Lekang oleh Waktu

Solo Putri Paes itu jauh banget dari sekadar make-up. Ia adalah ritual perpindahan, proses "penyempurnaan" seorang wanita sebelum dia masuk ke gerbang pernikahan. Ini adalah cara para leluhur menitipkan doa dan nasihat hidup, yang dilukis langsung di bagian tubuh paling terhormat, yaitu dahi.
Setiap goresan hitamnya adalah pengingat soal ketakwaan, kontrol diri, fokus, dan kerendahan hati. Pas seorang pengantin pakai paes ini, dia nggak cuma lagi tampil cantik. Dia lagi ngebawa seluruh filosofi dan harapan agung kebudayaan Jawa di dalam dirinya, ngejadiin dia seorang Putri yang sesungguhnya.
Bagi kamu yang ingin menghadirkan keagungan tradisi dalam hari pernikahanmu, WeddingMarket dapat menjadi tempat untuk menemukan penata rias adat dan vendor terpercaya yang memahami makna di balik setiap detail budaya, bukan sekadar tampilannya. Temukan lebih banyak inspirasi di sini.
Cover | Foto via Ulfa Jamila Makeup