Pilih Kategori Artikel

Menilik Lebih Dalam Prosesi Khitbah dari Perspektif Hukum Islam
Diskon dan Penawaran Eksklusif Menantimu!
Kunjungi WeddingMarket Fair 26-27 Oktober 2024
di Balai Kartini (Exhibition & Covention Center)

Dalam tradisi Islam, khitbah atau lamaran adalah momen penting yang menandai dimulainya perjalanan menuju pernikahan. Lebih dari sekadar formalitas, khitbah menyimpan makna mendalam yang mencakup etika, komitmen, dan niat yang tulus untuk membangun hubungan suami istri. Prosesi ini menjadi langkah awal yang penting dalam memastikan bahwa kedua belah pihak memiliki pemahaman dan kesiapan yang sama sebelum melangkah ke jenjang pernikahan.

Dalam perspektif hukum Islam, khitbah menjadi pernyataan niat dari seorang pria untuk menikahi wanita yang dipilihnya. Meskipun khitbah tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat hingga akad nikah dilangsungkan, proses ini tetap memiliki peran yang signifikan dalam menjaga kehormatan dan kesucian hubungan antara calon pengantin. Khitbah harus dilaksanakan dengan penuh perhatian pada etika dan aturan yang ditetapkan oleh agama untuk memastikan bahwa langkah awal menuju pernikahan ini sesuai dengan ajaran Islam.

Untuk memahami lebih dalam mengenai khitbah, termasuk bagaimana prosesi ini diatur dalam dalil, hadits, dan hukum Islam, artikel ini akan membahas berbagai aspek yang relevan. Dengan membaca artikel ini, kamu akan mendapatkan wawasan mendalam tentang tata cara dan prinsip-prinsip khitbah, serta bagaimana penerapannya dalam konteks hukum dan ajaran Islam.

Makna Khitbah dalam Bahasa Arab dan Indonesia

wm_article_img
Fotografi: Thepotomoto

Dalam terminologi bahasa Arab, kata "khitbah" memiliki akar yang sama dengan "al-khitbah" dan "al-khatab," yang secara harfiah berarti percakapan atau pembicaraan. Secara lebih spesifik, "al-khitbah" berasal dari kata "khathiba, yakhthibu, khithbatun," yang diterjemahkan sebagai lamaran atau pinangan. Dari akar kata tersebut, "khitbah" mengacu pada bentuk dialog atau percakapan yang berfokus pada lamaran, yaitu sebuah permintaan resmi untuk melangsungkan pernikahan.

Dalam ilmu fiqh, khitbah merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan proses lamaran atau pinangan, yang secara harfiah berarti "permintaan." Secara terminologis, khitbah merujuk pada pernyataan atau permintaan resmi yang diajukan oleh seorang laki-laki kepada seorang perempuan dengan maksud untuk menikahinya. Permintaan ini bisa dilakukan secara langsung oleh laki-laki tersebut, atau melalui perantara pihak yang dipercaya untuk menyampaikan niat pernikahan, seperti keluarga atau teman dekat. 

wm_article_img
Fotografi: Thepotomoto

Sementara itu, secara etimologis, istilah khitbah merujuk pada kata pinangan dan lamaran, dimana dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) memiliki makna yang hampir serupa, meskipun ada beberapa perbedaan kecil dalam penggunaannya. Kata "pi-nang" dalam bentuk kata kerjanya adalah "me-mi-nang," yang berarti meminta seorang perempuan untuk dijadikan istri. Kata "pinangan" sendiri berarti permintaan atau tindakan yang bertujuan untuk memperistri seorang perempuan, dan kata "pe-mi-na-ngan" merujuk pada proses, cara, atau perbuatan meminang.

Sedangkan untuk istilah "lamaran," dalam KBBI, "la-mar" sebagai kata kerja diartikan sebagai tindakan meminta seorang wanita untuk dijadikan istri, baik untuk diri sendiri maupun untuk orang lain. Istilah "melamarkan" digunakan untuk merujuk pada tindakan meminang atas nama orang lain, sementara "pelamar" berarti orang yang melakukan lamaran, dan "lamaran" merujuk pada pinangan atau permintaan resmi untuk memperistri seorang wanita.

Proses khitbah ini harus dilaksanakan sesuai dengan ketentuan-ketentuan agama yang mengatur tata cara dan adab dalam meminta seorang perempuan untuk menjadi istri. Dalam konteks Islam, khitbah menjadi langkah awal sebelum pelaksanaan akad nikah, yang menandai niat serius untuk menjalin ikatan pernikahan sesuai dengan syariat. Ini adalah langkah awal yang formal dalam proses pernikahan, yang menunjukkan bahwa pria tersebut ingin memasuki pernikahan melalui cara-cara yang sah dan diakui oleh masyarakat.

Landasan Hukum Khitbah

wm_article_img
Fotografi: Warna Project

Landasan hukum khitbah atau lamaran dalam Islam diambil dari beberapa sumber utama dalam Al-Qur'an, hadits, dan juga dari Kompilasi Hukum Islam yang mengatur tata cara dan etika dalam proses lamaran. Berikut adalah beberapa landasan hukum khitbah:

1. Dalil tentang Khitbah

Dasar nash Al-Qur’an tentang khitbah atau lamaran terdapat dalam Surah Al-Baqarah (2) ayat 235Ayat ini menjelaskan tentang etika dalam memberikan isyarat atau pertunangan (khitbah), yaitu bahwa meskipun seseorang bisa mengungkapkan niatnya secara lisan atau dalam hati, penting untuk menjaga kesopanan dan kehati-hatian dalam berkomunikasi mengenai hal ini. Allah juga mengingatkan agar tidak berjanji atau berkomunikasi mengenai pernikahan sebelum masa iddah perempuan berakhir, serta menekankan agar selalu berhati-hati dan jujur dalam niat dan tindakan.

2. Hadits tentang Khitbah

Dalam Islam, telah ditetapkan aturan dan etika dalam proses meminang atau khitbah. Nabi Muhammad sallallahu ‘alaihi wasallam pun memberikan panduan dan tuntunan mengenai cara melamar serta menjalani prosesi pernikahan dengan cara yang sesuai dengan syariat Islam.

  • Melamar Sendiri Sang Gadis Pujaan

Melamar secara langsung atau pribadi adalah sah menurut hukum agama Islam. Jika seseorang telah menemukan calon yang cocok untuk dijadikan istri, dan ingin melamarnya secara langsung, hal ini diperbolehkan dalam Islam. Melamar sendiri menunjukkan keseriusan dan keinginan yang tulus dalam menjalin hubungan pernikahan.

Sebagaimana Rasulullah sallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Dan Abdurrahman Bin Auf berkata kepada Ummu Hakim Binti Qarizh: 'Maukah kamu menyerahkan urusanmu kepadaku?' Ia menjawab, 'Baiklah!' Maka ia (Abdurrahman Bin Auf) berkata, 'Kalau begitu, baiklah kamu saya nikahi.'” (HR. Al-Bukhari).

Hadis ini menunjukkan bahwa melamar secara langsung dan personal adalah tindakan yang diperbolehkan dan bisa dilakukan sendiri tanpa adanya rasa ketakutan. Ini mencerminkan keseriusan dan niat baik dari pihak yang melamar, serta kesediaan dari pihak yang dilamar untuk menerima tawaran tersebut. 

  • Melamar kepada Orang Tua atau Wali

Salah satu cara yang dianjurkan dalam Islam untuk melamar seorang wanita adalah dengan mendatangi langsung rumahnya atau bertemu dengan orang tuanya. Ini adalah metode yang masih umum dilakukan di masyarakat saat ini dan mencerminkan adab serta penghormatan terhadap keluarga calon mempelai wanita.

Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah (Hadits Bukhari, Nomor: 4732), hadis ini menunjukkan bahwa praktik melamar melalui wali atau orang tua adalah bentuk pernikahan yang sah dan diterima dalam Islam, bahkan sebelum kedatangan Islam. Hal ini menggarisbawahi pentingnya peran wali dalam proses pernikahan dan memastikan bahwa segala sesuatu dilakukan dengan cara yang sesuai dengan adat dan syariat.

  • Melamar melalui Wakil atau Pemuka Masyarakat

Cara lain yang sering dilakukan dalam proses lamaran adalah melalui wakil atau pemuka masyarakat, seperti guru ngaji atau tokoh agama. Cara ini juga umum dilakukan oleh masyarakat saat ini, dan sering digunakan terutama jika pihak laki-laki tidak merasa cukup dekat atau tidak memiliki akses langsung untuk melakukan lamaran.

“Dari Ummu Salamah, tatkala 'iddahnya selesai, Abu Bakar mengirim utusan kepadanya untuk melamarnya, hanya ia enggan. Kemudian Rasulullah SAW mengutus Umar bin Al-Khattab untuk melamarnya, dan ia berkata: 'Tolong beritahu Rasulullah SAW kalau saya wanita pencemburu, banyak anak, serta tidak ada seorang waliku yang menyaksikan.' Kemudian Umar datang kepada Rasulullah SAW menyampaikan persoalannya. Lalu beliau bersabda: 'Kembalilah kepadanya dan katakan: adapun perkataanmu, 'Saya wanita pencemburu,' saya akan berdoa kepada Allah agar Dia menghilangkan rasa cemburumu. Adapun perkataanmu 'Saya wanita yang banyak anak,' maka akan dicukupkan bagimu anak-anakmu. Adapun perkataanmu bahwa tidak ada seorang waliku yang menyaksikan, ketahuilah bahwa tidak ada seorangpun waliku yang menyaksikan atau tidak, lantas membenci pernikahan ini tersebut.' Maka Ummu Salamah berkata: 'Wahai Umar, berdirilah dan nikahkan Rasulullah SAW.' Kemudian ia menikahkan Rasulullah SAW.” (HR. An-Nasa’i).

Hadis ini menunjukkan bahwa melamar melalui wakil adalah praktik yang diterima dan sering dilakukan pada masa Rasulullah sallallahu ‘alaihi wasallam. Metode ini memungkinkan pihak laki-laki untuk menggunakan perantara yang dihormati atau memiliki kedudukan untuk menyampaikan niatnya, terutama dalam situasi di mana langsung melamar tidak memungkinkan atau dianggap kurang sesuai.

3. Kompilasi Hukum Islam tentang Khitbah

wm_article_img
Foto: Instagram/nasariastri

Landasan hukum mengenai khitbah (peminangan) dalam sistem hukum Indonesia diatur dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI), yang memberikan panduan tentang berbagai aspek terkait proses lamaran. Berikut adalah rincian dari Pasal 11, 12, dan 13 KHI mengenai peminangan:

Pasal 11

“Peminangan dapat langsung dilakukan oleh orang yang berkehendak mencari pasangan jodoh, tapi dapat pula dilakukan oleh perantara yang dipercaya.”

Penjelasan: Pasal ini menegaskan bahwa peminangan bisa dilakukan baik secara langsung oleh calon mempelai laki-laki atau melalui perantara yang dipercayai. Ini memungkinkan pihak laki-laki untuk melamar secara langsung atau dengan bantuan pihak ketiga, seperti keluarga atau tokoh masyarakat.

Pasal 12

  • Peminangan dapat dilakukan terhadap seorang wanita yang masih perawan atau terhadap janda yang telah habis masa iddahnya.”

Penjelasan: Peminangan bisa dilakukan terhadap wanita yang belum menikah atau janda yang masa iddahnya telah selesai. Ini memastikan bahwa wanita yang akan dipinang berada dalam status yang sah menurut hukum Islam.

  • Wanita yang ditalak suami yang masih berada dalam masa iddah raj'iyah, haram dan dilarang untuk dipinang.”

Penjelasan: Peminangan terhadap wanita yang masih dalam masa iddah raj'iyah (masa iddah setelah talak satu atau dua kali di mana suami masih memiliki hak untuk rujuk) adalah dilarang. Hal ini untuk menghindari kerancuan status dan hak-hak suami yang masih berlaku.

  • “Dilarang juga meminang seorang wanita yang sedang dipinang pria lain, selama pinangan pria tersebut belum putus atau belum ada penolakan dari pihak wanita.”

Penjelasan: Peminangan terhadap wanita yang sedang dalam proses peminangan oleh pria lain adalah dilarang selama pinangan tersebut belum berakhir atau ditolak. Ini untuk menghormati proses yang sedang berlangsung dan menghindari konflik.

  • “Putusnya pinangan untuk pria, karena adanya pernyataan tentang putusnya hubungan pinangan atau secara diam-diam pria yang dipinang.”

Penjelasan: Jika terjadi putusnya pinangan, hal ini harus dinyatakan secara jelas baik secara lisan maupun diam-diam. Ini memastikan bahwa semua pihak memahami status hubungan dan hak-hak mereka.

Pasal 13 

  • “Pinangan belum menimbulkan akibat hukum dan para pihak bebas memutuskan hubungan peminangan.”

Penjelasan: Jika peminangan belum menimbulkan akibat hukum, para pihak memiliki kebebasan untuk memutuskan hubungan peminangan. Ini memberikan kebebasan untuk mengakhiri pinangan tanpa konsekuensi hukum jika proses belum resmi.

  • “Kebebasan memutuskan hubungan peminangan dilakukan dengan tata cara yang baik sesuai dengan tuntunan adat dan kebiasaan setempat, sehingga tetap terbina kerukunan dan saling menghargai.”

Penjelasan: Ketika memutuskan hubungan peminangan, hal ini harus dilakukan dengan cara yang baik dan menghormati adat serta kebiasaan setempat, untuk menjaga hubungan baik dan saling menghargai antara pihak-pihak yang terlibat.

Ketiga sumber ini, yakni Al-Qur'an, hadits, dan Kompilasi Hukum Islam telah memberikan panduan yang jelas dan terperinci tentang bagaimana khitbah harus dilakukan, memastikan bahwa proses ini dilakukan dengan benar dan adil. Ketiganya menekankan pentingnya etika dan adab, yang mengatur tentang tata cara peminangan dengan menjaga kesopanan dan menghormati semua pihak yang terlibat. Dengan mengikuti panduan dari Al-Qur'an, hadits, dan Kompilasi Hukum Islam, proses khitbah bisa dilakukan dengan cara yang adil dan sesuai dengan tuntunan agama Islam.

Dengan mempelajari makna khitbah dari perspektif hukum Islam, kita bisa memahami lebih dalam tentang pentingnya kesungguhan dan etika dalam tahapan awal pernikahan. Khitbah, sebagai proses lamaran yang tidak hanya sekadar tradisi, tapi juga sebagai bagian penting dari syariat Islam, mengajarkan kita nilai-nilai seperti komitmen, kehormatan, dan tanggung jawab.

Semoga artikel ini memberikan wawasan yang bermanfaat dan menjadi panduan bagi kamu yang ingin menjalani proses khitbah dengan penuh kesadaran dan kepatuhan terhadap tuntunan Islam. Bismillah! 


Sumber/referensi: Kompilasi Hukum Islam di Indonesia | quran.com | jurnal.uinsu.ac.id | Cover: foto oleh Thepotomoto

Diskon dan Penawaran Eksklusif Menantimu!
Kunjungi WeddingMarket Fair 26-27 Oktober 2024
di Balai Kartini (Exhibition & Covention Center)

Article Terkait

Loading...

Article Terbaru

Loading...

Media Sosial

Temukan inspirasi dan vendor pernikahan terbaik di Sosial Media Kami

Loading...