Menjalani biduk bahtera rumah tangga yang bahagia dan jauh dari segala cobaan dan marabahaya tentu menjadi keinginan setiap pasangan. Di dalam agama apapun, pernikahan adalah suatu hal yang suci dan sakral. Apalagi dalam ajaran agama Islam, jika kamu melakukan pernikahan dengan niat untuk mendekatkan diri kepada Allah, maka sama saja kamu telah menyempurnakan separuh agama.
Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang berbunyi, “Jika seseorang menikah, maka ia telah menyempurnakan separuh agamanya. Karenanya, bertakwalah pada Allah pada separuh yang lainnya. (HR. Al Baihaqi)”
Namun bukannya mendapat keberkahan, beberapa jenis pernikahan di bawah ini justru harus dijauhi dan tidak sepatutnya dilaksanakan. Di atas dasar apapun karena jelas Allah melarangnya dan karena tidak ada keuntungan yang akan diraih jika tetap dilangsungkan. Sebelum melangkah lebih jauh, ada baiknya kamu mengetahui terlebih dahulu apa saja jenis pernikahan yang dilarang dalam Islam dan apa konsekuensinya jika tetap dilaksanakan.
Hukum Menikah dalam Islam
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.”
Kamu pasti sudah tidak asing lagi dengan ayat Al-Qur’an surat Ar-Rum ayat 21 ini, bukan? Karena hampir di semua undangan pernikahan umat Islam, pasti akan mencatut ayat ini di dalam undangannya. Salah satu tujuan pernikahan dalam agama Islam adalah meningkatkan ibadah kepada Allah. Namun ada beberapa hal yang menjadikan pernikahan menjadi wajib, sunnah, makruh, mubah, bahkan haram.
Apa alasan yang menjadikan pernikahan dibedakan menjadi kelima kategori tersebut?
Wajib
Bila seseorang memiliki kemampuan untuk membentuk rumah tangga atau menikah, dan dia tidak mampu untuk menahan diri dari zina, maka seseorang tersebut diwajibkan untuk menikah.
Sunnah
Hukum pernikahan menjadi sunnah apabila seseorang memiliki kemampuan untuk menikah atau sudah siap membangun rumah tangga, tetapi dia bisa menahan diri dari tindakan zina. Jika kamu tidak khawatir akan terlibat dalam perbuatan zina jika tidak menikah, maka kamu dianjurkan untuk menikah, bukan mewajibkan. Agama Islam selalu menganjurkan umatnya untuk menikah jika mereka memiliki kemampuan dan melihat pernikahan sebagai salah satu bentuk ibadah.
Makruh
Jika seseorang memiliki cukup kemampuan atau tanggung jawab untuk membentuk rumah tangga, tetapi ia dapat menahan diri dari tindakan zina, maka pernikahan dianggap makruh karena meskipun ada keinginan untuk menikah, ia tidak memiliki tekad yang kuat untuk memenuhi kewajiban suami terhadap istri dan sebaliknya.
Mubah
Pernikahan dianggap mubah atau diperbolehkan jika seseorang memiliki kemampuan untuk menikah, tetapi ia dapat terlibat dalam perbuatan zina jika tidak menikah. Pernikahan dianggap mubah jika seseorang menikah hanya untuk memenuhi keinginan nafsu semata, bukan untuk membangun rumah tangga sesuai dengan syariat Islam, dan jika tidak ada khawatir bahwa ia akan menelantarkan pasangannya.
Haram
Pernikahan juga bisa menjadi haram jika dilakukan oleh seseorang yang tidak memiliki kemampuan atau tanggung jawab untuk memulai kehidupan rumah tangga, atau jika ada khawatir bahwa ia akan menelantarkan pasangannya.
Selain itu, pernikahan dengan niat jahat atau untuk menyakiti seseorang juga diharamkan dalam Islam. Hal ini juga berlaku jika pernikahan bertujuan untuk menghalangi seseorang agar tidak menikah dengan orang lain, tetapi kemudian ia menelantarkan atau tidak mengurus pasangannya.
Pernikahan yang Dilarang dalam Islam
Sebagai umat yang taat, ada baiknya kamu menjalani pernikahan dengan perasaan yang ikhlas dan niat untuk sepenuhnya mendekatkan diri kepada Allah. Dalam kerangka hukum Islam sendiri, ada larangan terhadap perkawinan yang disebut sebagai "mahram," yang merujuk pada individu yang dilarang menikah dalam fiqih Islam.
Dalam Al-Qur’an surat An-Nisa ayat 22-23, secara garis besar ada dua kategori larangan menikah dalam Islam, yakni larangan menikah untuk selama-lamanya, dan larangan nikah untuk sementara.
Haram ta’bid atau larangan menikah untuk selama-lamanya
Jenis pernikahan ini diharamkan secara mutlak dalam Islam, sehingga seorang laki-laki tidak diperbolehkan menikahi wanita tersebut dalam keadaan atau alasan apapun. Alasan larangan menikah selama-lamanya ini adalah karena adanya hubungan kekerabatan atau nasab, hubungan perkawinan dan juga hubungan sepersusuan.
Larangan menikah untuk sementara atau haram ghairu ta’bid
dimana pernikahan ini dilarang dalam waktu tertentu, karena ada sebab sesuatu yang membuat pernikahan tersebut tidak boleh dilakukan. Tapi jika sebab itu hilang, maka perkawinan pun boleh dilaksanakan.
Nah, sebelum menikah, kamu harus tau dulu sebab apa saja yang membuat pernikahan itu dilarang dalam Islam. Catat ya!
Larangan Menikah untuk Selama-lamanya
Adanya hubungan kekerabatan atau nasab, dimana masih ada pertalian darah di dalamnya
Hal ini juga diatur dalam UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Pasal 8 dan Kitab Hukum Perdata (KHI) Bab IV Pasal 9. Di antara golongan wanita yang dilarang untuk dinikahi selama-lamanya karena pertalian darah adalah:
Ibu, yang merujuk kepada ibu kandung seseorang, termasuk nenek dari pihak ayah dan nenek dari pihak ibu, serta seterusnya ke atas.
Anak perempuan, yang mencakup semua anak perempuan yang lahir dari pasangan suami-istri, termasuk cucu perempuan baik yang sekandung maupun yang tidak sekandung, dan seterusnya ke bawah.
Saudara perempuan, yang melibatkan semua perempuan yang memiliki kedua orang tua yang sama dengan seseorang, termasuk saudara perempuan sekandung dan yang tidak sekandung.
Bibi, baik dari pihak ayah maupun dari pihak ibu, yang mencakup semua perempuan yang merupakan saudara ayah atau ibu, yang lahir dari kakek dan nenek, baik yang sekandung maupun yang tidak sekandung.
Anak perempuan dari saudara laki-laki dan saudara perempuan, yaitu anak perempuan dari saudara laki-laki atau saudara perempuan seseorang, baik yang sekandung maupun yang tidak sekandung.
Begitupun dengan wanita, ia tidak diperbolehkan menikah dengan;
Ayah, yang merujuk kepada ayah kandung seseorang, termasuk kakek dari pihak ayah dan kakek dari pihak ibu, serta seterusnya ke atas.
Anak laki-laki, yang mencakup semua anak laki-laki yang lahir dari pasangan suami-istri, termasuk cucu laki-laki baik yang sekandung maupun yang tidak sekandung, dan seterusnya ke bawah.
Saudara laki-laki, yang melibatkan semua laki-laki yang memiliki kedua orang tua yang sama dengan seseorang, termasuk saudara laki-laki sekandung dan yang tidak sekandung.
Paman, baik dari pihak ayah maupun dari pihak ibu, yang mencakup semua laki-laki yang merupakan saudara ayah atau ibu, yang lahir dari kakek dan nenek, baik yang sekandung maupun yang tidak sekandung.
Anak laki-laki dari saudara laki-laki dan saudara perempuan, yaitu anak laki-laki dari saudara laki-laki atau saudara perempuan seseorang, baik yang sekandung maupun yang tidak sekandung.
Adanya hubungan perkawinan atau mushaharah
Diatur dalam UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Pasal 8 huruf c, dan Kitab Hukum Perdata (KHI) Pasal 39 ayat 2. Dan empat golongan yang termasuk di dalamnya adalah;
Ibu istri (mertua), yang mencakup ibu dari istri atau ibu mertua dari pihak ayah, serta seterusnya ke atas.
Anak perempuan dari istri yang digauli (anak tiri), cucu perempuan, dan seterusnya ke bawah. Hal ini menunjukkan larangan untuk menikahi anak perempuan yang merupakan hasil hubungan istri sebelumnya (anak tiri), cucu perempuan, dan seterusnya.
Istri dari anak kandung (menantu) atau cucu kandung, baik yang berjenis kelamin laki-laki maupun perempuan.
Ibu tiri (istri ayah), yang merujuk pada larangan untuk menikahi ibu tiri karena adanya pertalian perkawinan dengan ayah. Ini adalah bentuk larangan untuk menghindari perkawinan yang melibatkan hubungan keluarga yang rumit.
Begitupun dengan wanita, ia tidak diperbolehkan menikah dengan;
Laki-laki yang sudah mengawini ibu atau neneknya.
Laki-laki yang sudah mengawini anak atau cucu perempuannya.
Ayah dari suami atau kakeknya.
Anak laki-laki dari suaminya atau cucunya.
Adanya hubungan persusuan atau radha’ah yang membentuk hubungan kekerabatan karena menyusu di wanita yang sama
Hal ini diatur dalam UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Pasal 8 huruf d, dan Kitab Hukum Perdata (KHI) Pasal 39 ayat 3. Di antara golongan yang tidak boleh dinikahi adalah:
Perempuan yang menyusui seorang laki-laki tersebut dan seterusnya ke atas. Ini berarti bahwa seorang laki-laki yang telah disusui oleh seorang perempuan, serta hubungan penyusuan yang lebih jauh ke atas (misalnya, perempuan yang menyusui ibu dari laki-laki tersebut), dianggap sebagai mahram dan oleh karena itu tidak boleh menikah.
Anak perempuan yang disusui oleh istri (ibu susuan) dan seterusnya ke bawah. Artinya, anak perempuan yang disusui oleh istri (ibu susuan) adalah mahram bagi suami istri tersebut dan oleh karena itu dilarang menikahi suami tersebut.
Saudara perempuan yang sepersusuan. Ini merujuk pada anak-anak perempuan yang disusui oleh ibu yang sama. Mereka dianggap sebagai saudara sepersusuan dan oleh karena itu dilarang menikah satu sama lain.
Saudara perempuan dari ibu susuan dan suami ibu susuan. Ini merujuk pada anak-anak perempuan yang disusui oleh ibu yang sama atau suami dari ibu susuan yang sama. Mereka juga dianggap sebagai mahram dan oleh karena itu tidak boleh menikah satu sama lain.
Anak perempuan dari saudara laki-laki dari saudara perempuan sepersusuan. Ini mengacu pada anak perempuan dari saudara laki-laki yang disusui oleh saudara perempuan sepersusuan. Mereka juga dianggap sebagai mahram dan oleh karena itu dilarang menikah satu sama lain.
Larangan Menikah untuk Sementara
Mengumpulkan dua perempuan yang bersaudara
Artinya tidak boleh menikahi dua wanita bersaudara sekaligus dalam satu waktu. Namun, jika seorang laki-laki menikahi kedua saudara perempuan tersebut secara bergantian, seperti menikahi seorang wanita, kemudian wanita tersebut meninggal atau bercerai, maka laki-laki itu diperbolehkan untuk menikahi saudara perempuan dari wanita yang telah meninggal atau bercerai tersebut. Pernikahan seperti ini dilarang karena bisa saja membuat hubungan persaudaraan perempuan menjadi renggang dan tidak baik.
Menikahi perempuan yang masih terikat pernikahan dengan laki-laki lain
apalagi suami perempuan tersebut masih dalam kondisi hidup, dan suami tersebut belum menceraikannya. Wanita yang sudah menikah ini disebut sebagai "wanita yang terpelihara," atau wanita yang sudah memiliki suami. Namun, ia bisa dinikahi jika statusnya berubah menjadi janda setelah melewati masa iddah (periode tunggu setelah perceraian atau kematian suami).
Menikahi perempuan lebih dari empat orang
Jika laki-laki telah memiliki empat istri dan ingin menikah lagi, maka harus menceraikan dulu salah satunya, baru boleh menikah lagi. Karena dalam Islam, jika seseorang memiliki lebih dari empat istri, ia harus memilih empat dari istri-istri tersebut untuk dijadikan istri tetapnya, dan yang lainnya harus diceraikan.
Jika diantara istri-istri tersebut adalah saudara (kakak beradik), maka pilihan yang harus dibuat adalah menceraikan salah satunya. Sebagaimana firman Allah dalam surat An-Nisa ayat 3 yang berbunyi, “Dan jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu menikahinya), maka nikahilah perempuan (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat.”
Sudah ditalak tiga kali oleh suaminya, atau disebut juga dengan istilah nikah tahlil
Dalam konteks ini, jika seorang pria menikahi seorang wanita yang sebelumnya sudah diceraikan tiga kali oleh suaminya yang pertama, dan pria tersebut kemudian menceraikannya dengan niat agar wanita tersebut dapat dinikahi kembali oleh suaminya yang pertama setelah masa 'iddah wanita itu selesai, tindakan tersebut dianggap haram dan termasuk dalam perbuatan dosa besar.\
Hal ini mencerminkan praktik yang dikenal sebagai "nikah mut'ah" atau pernikahan sementara, yang dalam banyak tradisi Islam dianggap sebagai tindakan yang tidak sah dan tidak sesuai dengan prinsip-prinsip agama Islam. Nikah harus dilakukan dengan niat yang tulus dan bukan sebagai alat untuk menghindari ketentuan hukum perceraian dalam Islam.
Menikahi wanita yang berbeda agama, maupun sebaliknya
Perempuan tidak boleh menikahi laki-laki yang bukan seorang Muslim. Seorang Muslim tidak boleh menikahi seorang yang tidak mengikuti keyakinan monotheis dalam menyembah Allah. Pernikahan antara seorang Muslim dengan seorang non Muslim atau murtad (seseorang yang telah keluar dari agama Islam) tidak dianggap sah karena perbedaan keyakinan tersebut. Hal ini dengan tegas Allah katakan dalam surat Al-Baqarah ayat 221.
Sedang dalam masa iddah
Yakni ketika seorang perempuan sedang dalam “periode tunggu” setelah perceraian atau kematian suami. Masa iddah ini memiliki ketentuan yang berbeda tergantung pada situasi dan kondisi wanita tersebut, di antaranya:
Perceraian hidup, tidak hamil, belum haid, atau sudah putus haid (menopause). Masa iddah dalam situasi ini adalah tiga bulan, sebagaimana dijelaskan dalam Surat al-Thalaq ayat 4.
Perceraian hidup, sudah dukhul (masuk dalam periode iddah) dan masih haid. Masa iddah dalam kondisi ini adalah tiga kali haid atau suci. Hal ini juga dijelaskan dalam Surat al-Baqarah ayat 228.
Cerai mati, masa iddah setelah kematian suami adalah empat bulan sepuluh hari, sebagaimana dijelaskan dalam Surat al-Baqarah ayat 234.
Dalam Islam, selama masa iddah, seorang wanita tidak diperbolehkan menikah dengan laki-laki lain. Ketentuan ini bersifat menghormati proses penguraian pernikahan sebelumnya dan memberikan kesempatan bagi pertimbangan yang matang sebelum memulai pernikahan yang baru. Selain prinsip-prinsip agama, ketentuan ini juga memiliki relevansi dengan hukum perkawinan di berbagai negara, termasuk yang diatur dalam Undang-Undang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam di Indonesia.
Sedang dalam kondisi ihram
Baik ihram haji maupun umrah. Namun setelah ihram selesai, maka perempuan boleh dinikahi oleh laki-laki yang kondisinya juga sudah lepas masa ihram. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Orang yang sedang ihram tidak boleh menikah atau melamar.”
Itu tadi larangan-larangan dalam pernikahan yang tidak boleh dilakukan dalam pernikahan menurut agama Islam. Tentunya, larangan ini bersifat mutlak dan wajib dipatuhi oleh setiap Muslim, karena berpengaruh dengan sah atau tidaknya suatu pernikahan itu sendiri.
Pastinya kamu mau pernikahan kamu dan pasangan berjalan dengan baik dan bahagia sampai akhir hayat, 'kan? Maka dari itu, jauhi larangan-larangan pernikahan di atas, ya!