Hai, dears! Berbicara tentang pernikahan adat, barang tentu sangat lekat dengan simbol-simbol tradisi dan budaya. Begitu pun dalam pernikahan adat Jawa yang begitu kental akan nilai-nilai budaya Jawa. Adat pernikahan masyarakat Jawa memiliki tahapan yang begitu panjang, di mana berbagai prosesi perlu dilakoni kedua calon pengantin yang mencakup tradisi pra pernikahan, hingga ritual-ritual lain setelah resepsi digelar. Semua prosesi tersebut memiliki pakem dan tata cara khusus dalam pelaksanaanya.
Kali ini WeddingMarket akan membahas tentang salah satu ritual adat Jawa yang begitu unik dan khas, serta jarang dilewatkan oleh para keluarga calon pengantin, yaitu tradisi pemasangan tarub. Ada pula istilah bleketepe dan tuwuhan, terdengar asing? Atau, kamu sudah akrab dengan istilah-istilah ini? Gak masalah, sebab setelah membaca ulasan dalam artikel ini kamu akan segera paham apa itu pemasangan tarub, bleketepe, tuwuhan dan alasan mengapa masyarakat Jawa melakukan tradisi ini.
Tarub, Bleketepe dan Tuwuhan itu apa, sih?
Pernikahan adat Jawa memiliki ciri khas dalam dekorasinya yang mencerminkan keindahan, makna simbolis, dan kearifan lokal. Salah satunya yang akan kita bahas adalah pada prosesi pemasangan tarub, bleketepe dan tuwuhan. Ayo kita bahas satu per satu!
Mari kita mulai dengan istilah 'bleketepe'. Dijelaskan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), bleketepe merujuk pada kata benda yang memiliki dua arti, yakni anyaman daun kelapa yang dipasang di depan rumah sebagai tanda pesta pernikahan; anyaman daun kelapa untuk atap rumah dan sebagainya.
Sementara itu dari tata bahasanya, bleketepe ini merupakan sebuah istilah dalam bahasa Jawa yaitu ‘bale’ yang berarti tempat dan ‘katapi’ atau ‘tapi’ yang artinya memisahkan kotoran yang dibuang. Jadi, secara filosofi bleketepe itu sendiri dapat dimaknai sebagai tempat penyucian diri atau tempat membuang hal-hal negatif yang dianggap tidak suci.
Dalam adat Jawa, tradisi pemasangan bleketepe ini dilakukan beberapa hari menjelang hari pernikahan, bersamaan dengan pemasangan tratag atau tarub. Secara harfiah tratag dalam bahasa Jawa yaitu tenda, sedangkan tarub memiliki makna yang lebih luas, yakni mencakup bagian dari atap atau tenda itu sendiri, bleketepe, janur kuning serta kelengkapan lainnya.
Nah, bleketepe sendiri merupakan bagian dari prosesi pemasangan tarub. Sementara itu tuwuhan adalah istilah untuk menyebutkan hasil bumi, berupa tanaman pangan atau tumbuh-tumbuhan yang menjadi pelengkap dalam prosesi pasang tarub ini.
Menilik sejarah pemasangan tarub, bleketepe, tuwuhan dan kelengkapan lainnya
Merangkum dari jurnal UNNES (Setyaningsih, 2015), tradisi pemasangan tarub ini berawal dari dongeng di masa lampau tentang pertemuan Joko Tarub dan tujuh bidadari dari kayangan yang turun mandi di Telaga Nirmala. Konon para bidadari ini memiliki kecantikan tujuh kali lipat melampaui wanita-wanita cantik di bumi.
Kecantikan para bidadari ini lantas membuat Joko Tarub terpana sehingga muncul keinginan dibenaknya untuk memiliki salah satu diantara bidadari tersebut. Ia pun menyembunyikan salah satu selendang milik bidadari Kayangan tersebut dan menyimpannya di sebuah lumbung padi. Selendang tersebut ternyata milik seorang bidadari bernama Dewi Nawangwulan. Karena tak dapat kembali ke Kayangan, sang bidadari pun akhirnya dipersunting oleh Joko Tarub.
Tak butuh waktu lama, kabar itu pun menyebar hingga ke desa tetangga. Orang tua dari Joko Tarub yakni Ki Ageng, kemudian berniat menyelenggarakan pesta selamatan merayakan penyambutan menantunya tersebut. Namun, mengingat rumahnya cukup kecil untuk menampung semua warga desa yang ingin hadir di pesta itu, akhirnya Ki Ageng menambahkan anyaman daun kelapa serta janur kuning pada atap rumahnya.
Dengan bantuan para tetangga dan sanak saudaranya, akhirnya ‘tarub’ ini terpasang. Sejak saat itu, tradisi pemasangan atap berupa anyaman daun kelapa (bleketepe), janur kuning serta tambahan hasil bumi (tuwuhan) ini disebut dengan prosesi tarub atau pemasangan tarub.
Versi lain dari cerita asal-muasal pemasangan tarub ini berasal dari zaman Kerajaan Islam Mataram di Jawa, yang mana mengambil ajaran (wewaha) dari Ki Ageng Tarub, yang merupakan leluhur raja-raja Mataram. Kala itu, Ki Ageng Tarub yang memiliki hajat menikahkan putranya yang bernama Raden Bondan Kejawen dengan seorang wanita bernama Dewi Nawangsasih.
Ia membuat peneduh karena rumahnya tak cukup untuk menampung para tamu. Maka dibuatnyalah peneduh tersebut dari anyaman daun kelapa, dan di area gerbang atau pintu masuk rumah diletakkan aneka hasil bumi (tuwuhan) yang berisi batang pisang lengkap dengan buah dan jantung pisang, tebu wulung, cengkir gading dan bermacam-macam daun yang diyakini sebagai tolak balak (daun opo-opo). Tradisi tersebut akhirnya disebut dengan pemasangan tarub sesuai dengan nama orang yang memulainya, yakni Ki Ageng Tarub.
Bentuk dan ukuran
Tradisi pemasangan tarub terus berlanjut hingga kini. Keberadaan bleketepe dan tuwuhan tetap dipertahankan sebagai simbolis yang melekat dari prosesi pemasangan tarub dalam pernikahan adat Jawa. Namun, pada zaman modern sekarang, atap atau tratag yang digunakan pun dimodifikasi menjadi tenda yang lebih praktis.
Dan seperti yang telah disinggung di atas, bleketepe ini dibuat dari anyaman daun kelapa berbentuk persegi atau persegi panjang. Ukurannya dapat disesuaikan dengan kebutuhan, misalnya 50x50 cm, 50x200 cm dan sebagainya.
Berbeda dengan zaman dahulu di mana bleketepe digunakan sebagai peneduh agar para tamu tidak terkena paparan panas matahari atau hujan. Kini, pemasangan bleketepe pun cukup selembar saja sebagai simbolis, karena fungsinya sebagai peneduh dapat digantikan dengan tenda atau tratag.
Sementara itu, perlengkapan yang digunakan sebagai tuwuhan bisa berupa pohon tebu, pohon pisang raja setandan, buah kelapa, daun beringin, padi, aneka dedaunan, janur kuning dan sebagainya.
Makna dan filosofi tradisi pasang tarub dan kelengkapannya
Ada banyak elemen yang digunakan dalam tradisi pemasangan tarub ini, termasuk bleketepe dan tuwuhan, dan masing-masing elemen tersebut tak sembarang dipilih melainkan memiliki filosofi yang lekat dengan nilai-nilai kehidupan.
Untuk kelengkapan sesaji pelengkap yang dipasang bersama tarub, bisa berbeda di satu daerah dengan yang lainnya. Namun, umumnya berasal dari tumbuh-tumbuhan dan buah-buahan.
Masyarakat Jawa menggunakan istilah “tuwuhan” atau "tetuwuhan" untuk tumbuhan, yang artinya kehidupan ini dinamis dan selalu berkembang. Harapannya adalah agar kehidupan manusia, baik bagi yang merencanakan pernikahan maupun yang akan menikah, dapat terus tumbuh dan berkembang.
Pelengkap upacara tarub dan tuwuhan ini bisa terdiri dari berbagai jenis tanaman, berikut beberapa diantaranya:
Janur
Janur adalah daun muda yang berasal dari tanaman palem-paleman seperti pohon kelapa, enau, dan sebagainya, yang dirangkai menjadi sebuah struktur anyaman yang indah. Ornamen yang satu ini bukan hanya hiasan dekoratif penanda hajatan saja. Ternyata dalam tradisi Jawa (jarwa dhosok), “janur” adalah sebuah akronim yang berasal dari kata “janma” atau “jan” yang berarti “manusia” dan “nur” yang berarti “cahaya”. Janur di sini berarti sebuah pengharapan agar saat bersanding kedua mempelai bersinar bak cahaya ilahi. Secara filosofi memiliki makna yang mendalam berupa harapan berupa pencerahan yang tak putus, hal ini melambangkan kedamaian dan keselamatan.
Bleketepe
Pemasangan "Bleketepe", yang terbuat dari anyaman daun kelapa dan ditempatkan di depan rumah sebagai simbol perayaan pernikahan. Menurut asal bahasanya yakni 'bale' dan 'katapi' yang diartikan sebagai memisahkan kotoran untuk dibuang. Pemasangan bleketepe ini mengandung filosofi sebagai penolak bala, dan harapan agar pernikahan dapat berlangsung dengan sukses, damai, dan terhindar dari segala macam hal buruk.
Pisang Raja Ayu atau Pisang Madu
Dua buah tandan pisang raja ayu atau pisang madu yang manis menjadi harapan agar kedua mempelai dapat mengarungi bahtera rumah tangga kelak dengan manis, serta sebagai harapan agar kelak mereka memiliki keturunan yang banyak.
Tebu Arjuna atau Tebu Wulung
Isi tuwuhan lainnya yakni berupa sepasang tebu, dipilih tebu arjuna atau tebu wulung yang merupakan tebu pilihan atau unggulan. Tebu di sini menjadi akronim “anteping kalbu” yang dalam bahasa Jawa diartikan sebagai kemantapan orangtua untuk melepas kedua anaknya untuk memulai kehidupan baru. Dipilih tebu unggulan, sebagai filosofi bahwa harapannya mempelai pengantin dapat menjadi teladan atau contoh yang baik bagi anak-anaknya kelak maupun untuk masyarakat.
Sepasang Cengkir Gading
Cengkir gading adalah bahasa Jawa untuk buah kelapa gading. Cengkir dipakai sebagai akronim dari kalimat “kencenge pikir” yang bermakna kuat dalam berpikir atau bertekad kuat. Selain singkatan tersebut, buah kelapa gading muda juga dipilih karena dipercaya memiliki khasiat sebagai obat atau penangkal racun. Dari sini, filosofinya bermakna harapan orang tua pengantin agar kedua mempelai telah mantap dalam tekad mereka untuk memulai perjalanan rumah tangga, siap menghadapi segala tantangan dan risiko yang mungkin terjadi.
Daun Randu dan Pari Sawuli
Kedua daun ini memiliki makna “sandang” dan “pangan”. Oleh sebab itu, filosofinya daun randu dan pari sewuli sebagai harapan agar kebutuhan sandang dan pangan kedua mempelai akan tercukupi.
Godhong Opo-Opo
Dalam bahasa Jawa godhong berarti daun. Godhong opo opo adalah sejenis tanaman yang dipercaya oleh masyarakat Jawa memiliki berbagai khasiat sebagai obat dan juga dapat menangkal gangguan makhluk halus. Jadi filosofinya, sebagai penangkal dari berbagai hambatan dan rintangan yang akan ditemui dalam pernikahan.
Daun Beringin
Kelengkapan lainnya di prosesi pasang tarub yaitu daun beringin. Sebagaimana pohon beringin yang tumbuh kokoh dan rimbun menjadi peneduh, filosofi daun beringin di sini mengandung arti perlindungan dan pengayoman, dengan makna bahwa seorang suami memiliki peran untuk melindungi keluarganya dan memberikan teladan tentang keluarga sakinah, mawadah dan warohmah pada masyarakat.
Daun Kluwih
Daun kluwih di sini memiliki makna dalam bahasa Jawa disebut sebagai "linuwih" atau nilai tambah, dengan filosofi yang mengharapkan agar kedua mempelai memiliki pengetahuan yang luas dan mencapai tingkat kehidupan yang dapat menjadi kebanggaan serta menjadi contoh yang baik.
Daun Alang-Alang, Daun Kara dan Daun Maja
Selanjutnya ada daun alang-alang, daun kara dan daun maja, tiga jenis daun tersebut memiliki arti untuk menjauhkan rumah tangga dari berbagai hambatan dan rintangan. Dilansir dari perwara.com, daun alang-alang di sini melambangkan sebuah aspirasi atau harapan, agar apa yang diharapkan tidak terhambat oleh kendala apapun.
Kemudian daun kara, menjadi simbol ilmu pengetahuan, mengajarkan agar kehidupan seseorang tidak terbuang percuma. Penting untuk hidup dengan kebijaksanaan, mengambil tindakan dengan cepat dan tepat, menjaga perkataan dengan hati-hati, dan bertindak dengan penuh pertimbangan agar tidak menyakiti perasaan orang lain.
Dalam rangkaian tuwuhan itu, ada juga daun maja yang memberikan peringatan bahwa kehidupan pernikahan memiliki sisi pahit bersama dengan manisnya. Oleh karena itu, menghadapi berbagai aspek manis atau pahit dalam menjalani kehidupan berkeluarga dan bersosial, penting untuk tetap memiliki kekuatan dan keteguhan, serta tidak mengalami kehilangan semangat dan kegagalan.
Daun Kemuning dan Daun Girang
Dua jenis daun ini melambangkan kebahagiaan, dengan harapan bahwa kedua mempelai, dalam perjalanan hidup mereka, dapat menyebarluaskan cahaya kebahagiaan. Agar kehidupan pernikahan keduanya senantiasa selalu memperoleh kegembiraan dan ketentraman lahir dan batin.
Kapan prosesi pasang tarub, bleketepe dan tuwuhan dilakukan?
Sebagai upacara yang menandai prosesi pernikahan adat Jawa, pemasangan tarub ini dilakukan sebagai penanda bahwa si empunya rumah akan mengadakan sebuah hajatan. Biasanya pasang tarub dilakukan dua hari menjelang pernikahan, atau sebelum prosesi siraman.
Dalam sebuah jurnal yang dimuat di situs dpad.jogjaprov.go.id disebutkan, waktu pemasangan tarub bisa dilakukan pada pagi hari antara pukul 08.00–10.00 atau menjelang sore hari yaitu antara pukul 15.00–16.00. Pemasangan tarub, bleketepe dan tuwuhan ini dilakukan di kediaman mempelai wanita.
Mengenai kelengkapannya, tarub zaman sekarang dapat diganti menjadi tratag atau tenda bongkar pasang yang lebih praktis, dengan menempatkan janur di pintu gerbang atau di sebelah kanan dan kiri pintu masuk rumah calon pengantin sehingga membentuk gapura. Sementara bleketepe dipasang oleh ayah dan ibu atau keluarga dari calon pengantin wanita di depan pintu rumah sebagi simbolis.
Kemudian di sebelah kanan dan kiri pintu disusun tuwuhan sedemikian rupa dengan pisang setandan, aneka dedaunan dan padi-padian. Sehingga dekorasi keseluruhannya tampak indah dipandang mata, disamping kegunaannya sebagai simbolis yang memiliki filosofi tertentu.
Itulah, segala hal yang perlu kamu ketahui tentang prosesi pasang tarub, bleketepe, tuwuhan dan kelengkapan lainnya dalam adat Jawa yang khas. Pesona tradisi pernikahan yang dirawat secara turun-temurun ini tak hanya tampak dari visualnya yang ikonik menandakan bahwa si pemilik rumah sedang melangsungkan hajatan, tapi di balik itu semua elemen-elemen tersebut mencuatkan lambang yang menyisipkan nasihat hidup.
Nah, sekarang kamu sudah mengenal setiap elemen tersebut, lantas apa kamu akan turut mengadopsinya di pernikahanmu? Jika demikian, pahami juga tata cara pernikahan adat Jawa lebih dalam sehingga kamu dapat meresapi makna di setiap ritual-ritual yang akan kamu dan pasanganmu lalui kelak sebagai pengantin. Mari rayakan tradisi ini agar terus terjaga hingga generasi anak cucu kita kelak!