Pernikahan di negara Indonesia diatur dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UUP), dijabarkan bahwa perkawinan merupakan suatu ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami-istri dengan tujuan membentuk sebuah keluarga rumah tangga yang bahagia, yang kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Dari pengertian tersebut diketahui bahwa, perkawinan di Indonesia erat kaitannya dengan kepercayaan atau agama yang dianut. Agama Buddha merupakan salah satu agama resmi yang diakui di Indonesia. Tentunya, pasangan beragama Buddha yang ingin menikah harus mematuhi persyaratan sesuai hukum dan ketentuan yang berlaku maupun azas-azas dalam agama Buddha.
Azas Perkawinan dalam Pandangan Agama Buddha
Adapun azas yang dianut oleh penganut Agama Buddha berdasar kepada Anguttara Nikaya 11.57 yakni perkawinan yang dipuji oleh Sang Buddha adalah perkawinan antara seorang laki-laki yang baik (dewa) dengan seorang perempuan yang baik (dewi). Maka dari itulah azas monogami berlaku, dimana suatu perkawinan seorang pria hanya mempunyai seorang istri dan seorang wanita hanya mempunyai seorang suami.
Dilansir dari situs bimbingan perkawinan Kementerian Agama, menurut pandangan agama Buddha, agar kehidupan pernikahan suatu pasangan dapat berbahagia, sebaiknya kedua calon pengantin juga harus memiliki kesamaan dalam Dhamma sehingga tidak terjadi penyesalan dalam kehidupan berumah tangga kedepannya. Adapun empat kesamaan tersebut antara lain sebagai berikut:
Samma Sadha (sama keyakinan) Sadha merupakan keyakinan yang muncul dari pikiran dan pandangan yang benar sehingga akan membantu pola hidup yang baik.
Samma Sila (sama kemoralan) di dalam mengembangkan kepribadian yang lebih luhur, setiap anggota keluarga hendaknya menjaga kemoralan dalam kehidupan untuk menjaga ketertiban serta keharmonisan dalam keluarga maupun hidup bermasyarakat.
Samma Cagga (sama kedermawanan) dengan memiliki kedermawanan akan mengerti arti cinta yang sesungguhnya yaitu memberi segala sesuatu yang kita miliki demi kebahagiaan orang yang kita cintai dengan ikhlas dan tanpa syarat.
Samma Panna (sama kebijaksanaan) pasangan yang memiliki wawasan yang sama maka setiap permasalahan akan cepat terselesaikan.
Dengan demikian, sesuai dengan ajaran Buddha yang tentang hakikat hidup ini adalah ketidakpuasan, penyebab ketidakpuasan itu adalah keinginan, jika seseorang dapat mengendalikan keinginan maka ketidakpuasan akan dapat diselesaikan.
Syarat Umum Pernikahan Agama Buddha
Dilansir dari situs, dhammacakka.org persyaratan umum untuk melakukan perkawinan secara Agama Buddha adalah sebagai berikut:
Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai;
Seseorang yang belum mencapai usia 21 tahun harus mendapat izin dari kedua orangtuanya;
Perkawinan hanya akan diizinkan jika calon mempelai pria sudah mencapai umur 19 tahun dan calon mempelai wanita sudah mencapai umur 16 tahun;
Perkawinan dilarang antara dua orang yang:
Berhubungan darah dalam garis keturunan ke bawah maupun ke atas.
Berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping, yaitu antara sesama saudara, antara seseorang dengan saudara orangtuanya dan antara seseorang dengan saudara neneknya.
Berhubungan semenda, yaitu: mertua, anak tiri, menantu dan bapak/ibu tiri.
Berhubungan susuan, yaitu: orangtua susuan, anak susuan, saudara susuan dan paman/bibi susuan.
Berhubungan saudara dengan istri atau sebagai bibi atau kemenakan dari istri, dalam hal seorang suami beristri lebih dari seseorang.
Mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang kawin.
Seseorang yang masih terikat tali perkawinan dengan orang lain tidak dapat kawin lagi (kecuali ada izin pengadilan dan pihak-pihak yang bersangkutan);
Pegawai negeri sipil/ABRI harus dapat izin dari atasan.
Syarat Administrasi Pemberkatan Pernikahan Agama Buddha
Bagi kamu yang ingin melakukan pemberkatan pernikahan secara agama Buddha, maka hal pertama yang harus dilakukan adalah menghubungi pengurus vihara atau Pandita Lokapalasraya. Tujuannya adalah untuk mendapatkan pengarahan mengenai berbagai persiapan, peralatan untuk menggelar upacara pemberkatan serta hal-hal yang harus dipelajari oleh kedua calon pengantin.
Selain itu, kedua calon mempelai juga wajib melengkapi dokumen serta berkas pernikahan sebagaimana diatur oleh Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil untuk diserahkan ke vihara. Adapun dokumen yang harus dilengkapi antara lain sebagai berikut:
Formulir pemberkatan (dapat diambil di vihara);
Fotokopi Kartu Tanda Penduduk (KTP) yang sudah dilegalisir kelurahan;
Fotokopi Kartu Keluarga (KK) yang sudah dilegalisir kelurahan;
Fotokopi Kartu Tanda Penduduk (KTP) orang tua mempelai pria dan wanita;
Fotokopi Kartu Tanda Penduduk (KTP) saksi dari kedua belah pihak;
Fotokopi Akte Lahir mempelai pria dan wanita;
Surat Keterangan Belum Menikah dari kelurahan masing-masing mempelai;
Pasfoto berdampingan ukuran 6 x 4
Surat izin orangtua untuk calon mempelai yang berusia di bawah 21 tahun;
Akta perjanjian pra nikah (apabila ada);
Setelah melengkapi persyaratan tersebut, calon mempelai juga diwajibkan mengikuti Bimbingan Perkawinan sebanyak 8 (delapan) kali. Sebelum menggelar pernikahan, kamu dan pasangan juga wajib mempelajari tata cara pelaksanaan upacara pemberkatan pernikahan dalam Agama Buddha.
Itulah syarat-syarat yang dibutuhkan untuk melakukan pernikahan secara Agama Buddha. Secara umum persyaratan untuk melakukan pemberkatan pernikahan di Vihara yang satu dengan yang lainnya tak jauh berbeda. Namun, ada kalanya juga ada persyaratan khusus yang ditetapkan dari pihak pengurus. Misalnya, pemberkatan hanya dilangsungkan pada hari Sabtu atau hari tertentu, larangan memakai pakaian yang terlalu terbuka dan lain sebagainya.
Agar lebih jelasnya, kamu bisa menghubungi pengurus vihara atau Pandita Lokapalasraya yang kamu percayakan. Baca juga susunan acara pernikahan dalam agama Buddha untuk tambahan informasimu. Semoga pemberkatan pernikahanmu dapat berjalan lancar ya!
Fotografi oleh: Noia Picture via Flo Organizer | Referensi: bimbinganperkawinan.kemenag.go.id | dhammacakka.org