Pasangan umumnya sepakat bahwa pernikahan tidak hanya menggabungkan dua individu, tetapi juga menghubungkan dua keluarga besar yang sebelumnya tidak saling mengenal. Meskipun beberapa orang dapat merencanakan pernikahan mereka tanpa kendala, tantangan muncul ketika ada perbedaan adat di antara mereka.
Sebagai contoh, pertemuan antara dua budaya yang dianggap bertentangan, seperti orang Jawa dan orang Sunda, bisa menjadi kompleks. Meskipun di era modern ini, prinsip-prinsip ini masih dipegang teguh oleh sebagian orang.
Bagaimana kedua pasangan yang berasal dari suku Jawa dan Sunda mengatasi mitos ini dan melanjutkan hubungan mereka? Mari kita telaah lebih lanjut mengenai asal-usul mitos bahwa orang Jawa dan Sunda tidak dapat bersatu, serta bagaimana mitos ini dapat mempengaruhi perkembangan hubungan mereka.
Awal Mula Mitos Larangan Jawa dan Sunda Menikah
Kala itu, pada tahun 1357 Masehi terjadi ketegangan antara Kerajaan Majapahit dan Kerajaan Sunda. Konflik ini dipicu oleh perbedaan pandangan antara Patih Gajah Mada, utusan Majapahit yang berambisi menyatukan Nusantara, dan Raja Sunda, Prabu Linggabuana.
Peristiwa tragis ini bersumber dari rencana pernikahan Raja Hayam Wuruk dari Majapahit dengan Dyah Pitaloka Citraresmi, putri Raja Sunda. Patih Gajah Mada, sebagai otak di balik rencana tersebut, berkeinginan mempersatukan Nusantara melalui ikatan pernikahan.
Namun, Raja Linggabuana menolak, menginginkan pernikahan tersebut mengikuti adat Sunda bukan Majapahit. Pertentangan ini meledak menjadi perang, menghadirkan momen krusial bagi kedua kerajaan.
Perang Bubat, meskipun berlangsung singkat, menyimpan dampak besar. Kerajaan Sunda, yang merasakan kekalahan dalam pertempuran tersebut, mengalami kemunduran signifikan. Raja Linggabuana tewas dalam peperangan, sementara Dyah Pitaloka Citraresmi memilih mengakhiri hidupnya.
Dampaknya tak hanya terbatas pada kemenangan dan kekalahan. Perang Bubat mengakibatkan penguatan dominasi Majapahit di Nusantara, menciptakan ikatan yang sulit dilepaskan oleh kerajaan-kerajaan di sekitarnya. Namun, selain kemenangan politik, muncul pula sebuah mitos yang menyertai sejarah tersebut.
Kenapa Mitos Ini Bisa Muncul
Duka mendalam dari Perang Bubat mencapai kedalaman emosional di tengah masyarakat Kerajaan Sunda pada masa itu. Pangeran Niskala Wastu Kencana, sang adik Dyah Pitaloka, menjadi satu-satunya pewaris kerajaan yang tersisa setelah peristiwa tragis tersebut.
Memasuki masa pemerintahannya, Pangeran Niskala Wastu Kencana mengambil keputusan radikal dengan mengakhiri hubungan diplomatik dengan Kerajaan Majapahit. Selain itu, dia menerapkan kebijakan larangan "esti ti luaran" atau menikah dengan orang dari luar Kerajaan Sunda.
Kebijakan ini kemudian diartikan sebagai larangan bagi penduduk Kerajaan Sunda untuk menikah dengan orang dari Kerajaan Majapahit, dan secara lebih luas, menghendaki agar orang Sunda tidak menjalin ikatan pernikahan dengan orang Jawa.
Secara mitologis, larangan ini mengandung prediksi bahwa pernikahan antara individu dari Suku Jawa dan Suku Sunda yang melanggar aturan ini akan dipenuhi dengan ketidakbahagiaan, menderita banyak masalah, dan tidak akan bertahan lama.
Pada intinya, Pangeran Niskala Wastu Kencana menjalankan kebijakan yang tidak hanya memutuskan hubungan dengan Kerajaan Majapahit tetapi juga menciptakan pembatasan pernikahan yang tegas di antara penduduknya.
Hal ini tidak hanya menjadi aturan politik, tetapi juga menjadi bagian dari mitos yang terus berkembang, memberikan landasan bagi keyakinan bahwa melanggar larangan tersebut akan membawa kesialan dalam pernikahan antara orang Jawa dan Sunda.
Mitologi ini menjadi landasan bagi larangan pernikahan antara orang Jawa dan Sunda yang muncul setelah Perang Bubat. Dipercayai bahwa ikatan pernikahan antar-dua budaya ini akan berujung pada bencana besar.
Mitos ini membentuk narasi kolektif yang mempengaruhi keputusan pernikahan dan menjaga ketegangan antar masyarakat Jawa dan Sunda. Hingga saat ini, mitos ini menjadi bagian tak terpisahkan dari kesadaran budaya, memberikan warna tersendiri dalam sejarah peradaban Indonesia.
Apakah Mitos Ini benar?
Kisah tragis antara Dyah Pitaloka dan Hayam Wuruk dianggap oleh beberapa sejarawan sebagai sebuah cerita fiksi yang muncul setelah runtuhnya Kerajaan Majapahit. Kisah ini terdokumentasi dalam naskah kuno seperti Kidung Sunda, Serat Pararaton, dan Naskah Parahyangan.
Sebaliknya, sejumlah sejarawan berpendapat bahwa cerita dari Perang Bubat ini mungkin sengaja dibuat oleh Pemerintah Kolonial sebagai strategi politik adu domba (Devide et Impera) untuk memecah belah masyarakat Jawa antara barat dan timur. Pada masa itu, Pemerintah Belanda memiliki kepentingan dalam memanfaatkan konflik untuk memperlemah persatuan di Nusantara.
Upaya untuk menghilangkan mitos dan memperkuat persatuan antara masyarakat Sunda dan Jawa tampaknya telah dilakukan oleh pemimpin daerah Jawa Barat dan Daerah Istimewa Yogyakarta pada tahun 2021. Saat itu, Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil, dan Gubernur DIY, Sri Sultan Hamengkubuwono X, saling mengunjungi wilayah masing-masing.
Dalam semangat mempererat hubungan kedua daerah, keduanya sepakat untuk memberi nama jalan dengan simbol yang mencerminkan kerukunan, seperti Jalan Pajajaran dan Jalan Siliwangi di Kota Yogyakarta, serta Jalan Majapahit dan Jalan Hayam Wuruk di Kota Bandung. Tindakan ini diharapkan dapat menghapus stereotip dan mitos tentang larangan pernikahan antara suku Sunda dan Jawa, menegaskan bahwa hubungan antar-keduanya sudah baik dan harmonis.
Perbedaan Bukan Sebuah Halangan
Perbedaan antar suku tidak sepatutnya menjadi kendala ketika membicarakan rencana pernikahan. Meskipun mungkin sulit untuk membahas perbedaan suku dengan orang tua, namun kamu dapat menunjukkan bahwa hubunganmu dengan pasangan berjalan baik dan mampu mengatasi segala hambatan di masa depan.
Stereotip tentang sifat bawaan dari suku masing-masing mungkin muncul, namun kunci utama keberhasilan hubungan tetap berada pada kedewasaan dan komitmen kamu bersama pasangan. Perbedaan tidak hanya terbatas pada latar belakang suku, melainkan juga mencakup keyakinan, gaya komunikasi, dan sikap sehari-hari.
Penting untuk saling menghormati dan menghargai, membentuk komunikasi yang sehat, serta memiliki komitmen untuk saling memahami. Dengan sikap positif ini, mitos tentang perbedaan suku hanyalah pandangan keliru.
Setiap perbedaan yang ada antara kamu dan pasangan tidak memiliki dampak negatif. Yakinlah bahwa pernikahanmu akan berjalan dengan lancar dan bahagia sepanjang hidup. Jadi, nantinya, pilihan resepsi adat seperti Jawa, Sunda, atau gabungan keduanya bisa menjadi keputusan yang diambil dengan sukacita.