Pilih Kategori Artikel

Serba-Serbi Mitos Tentang Orang Sunda dan Orang Jawa Tidak Boleh Menikah. Kenapa?
Diskon dan Penawaran Eksklusif Menantimu!
Kunjungi WeddingMarket Fair 26-27 Oktober 2024
di Balai Kartini (Exhibition & Covention Center)

Setiap pasangan pasti setuju tentang pernyataan berikut, bahwa pernikahan tidak hanya tentang menyatukan dua insan menjadi satu keluarga, tapi juga menyatukan dua keluarga besar yang sebelumnya tak saling mengenal. Bagi sebagian orang, persiapan acara pernikahan mungkin bisa dilakukan dengan lancar tanpa adanya suatu hambatan. Tapi bagaimana dengan pasangan yang ternyata “terbentur” dengan perbedaan adat mereka?

Sebut saja dua adat yang “katanya” tidak bisa disatukan karena adanya sejarah panjang di belakangnya, yakni orang Jawa dengan orang Sunda. Kedua suku ini dianggap bertentangan dalam banyak hal, dan di zaman yang sudah modern ini pun, masih banyak orang yang memegang teguh prinsip tersebut. Tapi, jika kedua pasangan bersuku Sunda dan Jawa sudah bersatu, bagaimana mitos ini bisa menjelaskan kelanjutan hubungan keduanya? Lalu, bagaimana awal dari mitos bahwa orang Jawa dan orang Sunda tidak bisa bersatu ini? Yuk, kita cari tau lebih jauh!

wm_article_img
Fotografi: TRITY & Co.

Mari Kita Mundur Jauh ke Belakang…

Siapa sangka, ternyata berkembangnya mitos larangan pernikahan antara orang Jawa dan orang Sunda muncul bahkan sejak zaman kerajaan. Dua kerajaan yang pada saat itu memulai hubungan baik dan berubah menjadi perselisihan adalah Kerajaan Majapahit yang menduduki tanah Jawa, dan Kerajaan Pajajaran atau Kerajaan Sunda yang menduduki tanah Sunda.

Perselisihan keduanya membuat perang yang tak bisa dihindari, dan dikenal dengan peristiwa Pasundan Bubat, atau Perang Bubat. Kisah ini dimulai dari terpesonanya Prabu Hayam Wuruk, raja keempat Kerajaan Majapahit, pada seorang putri Kerajaan Sunda, yakni Dyah Pitaloka Citraresmi. 

Pada saat itu, konon ada dua alasan yang membuat Hayam Wuruk ingin memperistri Dyah Pitaloka. Pertama, ia terpesona pada kecantikan Dyah Pitaloka, yang ia lihat dari sebuah lukisan yang beredar di wilayah Kerajaan Majapahit. Dan alasan kedua adalah alasan politis, yakni untuk mengikat persekutuan dengan Negeri Sunda, dimana saat itu, Gajah Mada dengan Sumpah Palapa-nya ingin menaklukkan semua kerajaan, dan saat itu hanya Kerajaan Sunda-lah yang belum berhasil ia taklukkan.

wm_article_img
Foto: AI Nusantara via viva.co.id

Alih-alih disambut dengan penuh suka cita, Raja Linggabuana, raja Kerajaan Sunda saat itu, beserta permaisuri dan juga Dyah Pitaloka malah justru disambut dengan cara yang tak enak. Perselisihan pun tak terhindarkan, lalu akhirnya pecahlah perang akibat adanya kesalahpahaman di antara kedua belah pihak kerajaan.

Pada abad ke-14, tepatnya tahun 1357 Masehi, di Lapangan Bubat sebelah utara Trowulan, Mojokerto, Jawa Timur, Perang Bubat pun pada akhirnya tak terhindarkan. Ada banyak prajurit dari Kerajaan Sunda yang gugur dalam pertempuran ini akibat tidak imbangnya lawan dari Kerajaan Majapahit yang mereka hadapi. Sang raja, ratu, para pejabat dan menteri kerajaan gugur dalam peperangan. Demi membela tanah kelahirannya, Dyah Pitaloka yang kala itu berdiri sendiri pun melakukan bela pati, atau bunuh diri. Semenjak peristiwa itu, hubungan antara Kerajaan Majapahit dan Kerajaan Sunda dikabarkan tak pernah membaik.

Lalu, dari Mana Mitos Orang Sunda dan Orang Jawa Tidak Bisa Menikah?

wm_article_img
Fotografi: Wedday Photography

Peristiwa Perang Bubat menyisakan duka yang mendalam bagi masyarakat Kerajaan Sunda kala itu. Pangeran Niskala Wastu Kencana, adik dari Dyah Pitaloka adalah satu-satunya keluarga Kerajaan Sunda yang tersisa kala itu akhirnya meneruskan tahta Kerajaan Sunda. Saat ia menjadi raja, ia membuat kebijakan untuk memutus hubungan diplomatik dengan Kerajaan Majapahit, dan mengeluarkan larangan esti ti luaran atau beristri dari luar bagi rakyatnya, agar tidak menikah dengan orang di luar Kerajaan Sunda.

Hal ini lalu ditafsirkan bahwa masyarakat di Kerajaan Sunda tidak boleh menikah dengan orang dari Kerajaan Majapahit, dan lebih luas lagi, orang Sunda tidak boleh menikah dengan orang Jawa. Menurut mitos yang berkembang, jika larangan ini diabaikan, maka pernikahan antara pasangan dari Suku Jawa dan Suku Sunda tidak akan bahagia, diterpa banyak masalah dan tak berlangsung lama.

wm_article_img
Foto via Studio Kencana

Tak hanya menjadi duka dan luka, peristiwa Perang Bubat ini juga meninggalkan kesan yang mendalam dan membentuk sebuah stereotip bagi masyarakat Jawa dan Sunda. Dari peristiwa ini, muncul gambaran negatif terhadap laki-laki Jawa, di mana mereka digambarkan sebagai individu yang licik dan mudah marah. Di sisi lain, Perang Bubat juga membentuk stereotip terhadap perempuan Sunda, yang menggambarkan mereka sebagai individu yang materialistis. 

Keinginan untuk mengadakan pernikahan yang megah dan mewah menjadi salah satu penyebab konflik. Hal ini menciptakan citra perempuan Sunda sebagai sosok yang lebih mementingkan aspek material daripada nilai-nilai yang lebih penting. Kalau menurut kamu sendiri bagaimana, apakah benar ada kesamaan ciri sifat yang diturunkan dari kisah sejarah ini pada orang terdekatmu yang merupakan orang Jawa atau orang Sunda?

Tapi, Ini Cuma Mitos Kok!

wm_article_img
Fotografi: Imagenic

Kisah tragis antara Dyah Pitaloka dan Hayam Wuruk ini banyak dikatakan oleh para sejarawan sebagai kisah fiksi yang hanya diceritakan pasca runtuhnya Kerajaan Majapahit. Kisah ini ditemukan di beberapa manuskrip kuno, yakni Kidung Sunda, Serat Pararaton, dan Naskah Parahyangan.

Menurut pandangan lain dari para sejarawan, Perang Bubat bahkan diatur dengan sengaja oleh Pemerintah Kolonial sebagai taktik Politik Adu Domba (Divide et Impera) di antara masyarakat Jawa bagian barat dan timur. Hal ini dilakukan karena saat itu Pemerintah Belanda punya kepentingan dalam memecah belah masyarakat Nusantara (Indonesia) pada saat itu.  

Upaya untuk menghilangkan mitos dan menyatukan masyarakat Sunda - Jawa pun ternyata dilakukan oleh para pemimpin daerah Jawa Barat dan Daerah Istimewa Yogyakarta di tahun 2021, dimana kala itu Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil dan Gubernur DIY, Sri Sultan Hamengkubuwono X saling berbalas kunjungan di tahun 2021.

Untuk mempererat hubungan keduanya dan menunjukkan bahwa tak ada lagi hubungan yang tidak baik antara masyarakat Sunda dan Jawa, kedua kepala daerah sepakat untuk membuat nama jalan, yakni Jalan Pajajaran dan Jalan Siliwangi di Kota Yogyakarta, serta Jalan Majapahit dan Jalan Hayam Wuruk di Kota Bandung. Kalau sudah begini, seharusnya tidak ada lagi ya mitos tentang larangan pernikahan bagi pasangan suku Sunda dan Jawa!

Buat Kamu yang Mempunyai Pasangan Berbeda Suku

wm_article_img
Fotografi: Imagenic

Meski mungkin akan sulit membicarakan tentang perbedaan suku antara kamu dan pasangan kepada orang tua, tapi kamu bisa kok menunjukkan kepada mereka bahwa hubungan kalian berjalan sangat baik, dan bisa melewati hambatan apapun di kemudian hari. Meskipun akan ada stereotip yang melekat di antara pribadi masing-masing tentang bawaan sifat dari suku yang kalian miliki, tapi kunci dari hubungan yang baik dan sehat tetap ada pada kamu dan si pasangan.

Perbedaan tentu bukan hanya pada latar belakang suku saja, tapi juga keyakinan, cara bicara dan juga cara bersikap di kehidupan sehari-hari. Tentu membutuhkan sikap saling menghormati dan menghargai untuk membentuk komunikasi yang baik, dan juga komitmen untuk belajar untuk saling memahami pasangan masing-masing.

Dengan sikap seperti ini, tentu mitos hanyalah sekadar mitos. Segala perbedaan yang kamu dan pasangan miliki karena perbedaan suku tentu bukanlah apa-apa. Yakinlah, bahwa pernikahan kamu dan pasanganmu akan berjalan dengan lancar dan bahagia sampai akhir hayat. Jadi di pernikahan nanti, mau pakai resepsi adat apa nih, Jawa, Sunda, atau keduanya?

Diskon dan Penawaran Eksklusif Menantimu!
Kunjungi WeddingMarket Fair 26-27 Oktober 2024
di Balai Kartini (Exhibition & Covention Center)

Article Terkait

Loading...

Article Terbaru

Loading...

Media Sosial

Temukan inspirasi dan vendor pernikahan terbaik di Sosial Media Kami

Loading...