
Pernikahan tidak selamanya tentang bahagia dan berbunga-bunga seperti di awal pacaran atau bulan madu. Seiring berjalannya waktu, dinamika di dalam pernikahan tentu akan mengalami perubahan.
Masa-masa penuh gairah di awal hubungan perlahan bisa tergantikan oleh rutinitas, tanggung jawab, dan berbagai tantangan kehidupan. Tidak sedikit pasangan merasa hubungan mereka mulai kehilangan kehangatan dan kedekatan emosional di kemudian hari.
Kalau kamu pernah mendengarnya, situasi tersebut disebut dengan marriage burnout, di mana pernikahan terasa monoton, hubungan menjadi hambar, dan kedekatan emosi perlahan memudar. Nyatanya, marriage burnout cukup sering dialami oleh banyak pasangan.
Banyak pasangan secara tidak sadar sedang mengalaminya. Tuntutan pekerjaan, urusan rumah tangga, pengasuhan anak, serta tekanan finansial sering kali menguras energi fisik dan mental. Akibatnya, pasangan suami istri menjadi lebih mudah lelah, kurang memiliki waktu berkualitas bersama, dan komunikasi pun bisa terhambat.
Lebih jauh lagi, kondisi ini dapat menimbulkan rasa frustasi, kesepian, bahkan keraguan apakah pernikahan baik untuk dilanjutkan. Namun, marriage burnout itu bukan pertanda akhir dari hubungan. Yuk, kenali lebih dekat apa itu marriage burnout, seperti apa tandanya, dan bagaimana cara memulihkan hubungan dari situasi tersebut.
Tanda-tanda pernikahan mengalami marriage burnout

Mengatasi marriage burnout memerlukan kesadaran dan komitmen dari kedua belah pihak. Untuk itu, baik suami maupun istri harus tahu bahwa saat ini pernikahan sedang dalam situasi marriage burnout . Bagaimana tanda pernikahan sedang mengalami marriage burnout?
1. Merasa Tidak Nyaman
Salah satu tanda awal ketika mengalami marriage burnout adalah perasaan tidak nyaman saat bersama pasangan dan ini paling sering muncul. Namun, itu bukan berarti kamu tiba-tiba tidak mencintai pasangan, melainkan ada rasa canggung atau bahkan tegang tanpa alasan jelas.
Aktivitas sehari-hari yang dulu terasa ringan dan menyenangkan, kini mungkin berat atau malah dihindari. Misalnya, saat makan bersama, suasana terasa sunyi dan kaku. Atau ketika diajak berbincang, kamu merasa malas atau enggan memberikan respons.
Perasaan tidak nyaman ini biasa dikarenakan adanya akumulasi emosi yang tidak tersampaikan dengan baik. Mungkin ada unek-unek yang lama dipendam, perasaan jenuh tidak diakui, atau ekspektasi tidak terpenuhi.
2. Suka Menyendiri
Keinginan untuk menepi dan menyendiri itu wajar, tetapi jika dilakukan hanya sesekali. Jika dulu menghabiskan waktu bersama pasangan terasa menyenangkan, kini menjadi melelahkan.
Berada di ruang terpisah atau mencari kegiatan sendiri memang bisa menjadi cara untuk ”mengisi ulang” energi yang terkuras oleh rutinitas sehari-hari. Namun, jika kebiasaan ini mulai terlalu sering terjadi dan kamu atau pasangan merasa lebih nyaman menghindari interaksi, ini bisa menjadi sinyal bahwa ada yang perlu diperbaiki dalam hubungan.
Dalam kondisi marriage burnout, waktu bersama yang seharusnya mempererat kedekatan justru terasa seperti beban tambahan
3. Selalu Memikirkan Perceraian

Saat perasaan jenuh dan lelah dalam pernikahan terus berlarut, akan muncul pikiran-pikiran negatif, salah satunya keinginan untuk berpisah. Mungkin awalnya hanya sekilas melintas di kepala, seperti, ”Apa jadinya kalau aku pisah saja, ya?” atau ”Mungkin akan lebih bahagia kalau nggak bareng lagi.”
Jika pikiran seperti ini makin sering muncul, itu bisa jadi tanda bahwa marriage burnout sedang kamu alami dan sudah memengaruhi cara pandang terhadap pernikahan itu sendiri. Jangan langsung mengikutinya, keinginanmu untuk bercerai bukan karena kamu ingin mengakhiri hubungan.
Dalam banyak kasus, itu adalah bentuk pelarian mental dari rasa stres, kelelahan emosional, atau frustasi yang belum terselesaikan. Pikiran ini muncul karena merasa buntu atau tidak tahu harus bagaimana lagi untuk memperbaiki hubungan.
4. Suasana Hati Selalu Buruk
Suasana hati selalu buruk – tanda paling umum dari marriage burnout . Rasanya hal-hal kecil saja bisa mudah sekali memicu emosi negatif. Mulai dari nada bicara pasangan, kebiasaan sepele di rumah, hingga perbedaan pendapat yang biasanya kamu bisa sikapi dengan santai.
Kamu hanya lelah, bukan karena pasangan benar-benar ”menyebalkan”. Ketika energi mental dan fisik terkuras, toleransi terhadap stres pun menurun. Akibatnya, segala sesuatu terasa lebih berat dari sebenarnya.
5. Merasa Dikekang
Awalnya kamu hanya merasa sekadar ada batasan dalam bergerak atau mengambil keputusan. Namun lama-kelamaan, perasaan ini bisa semakin mengganggu. Ketika setiap aktivitas harus selalu dilaporkan, atau ketika pasangan sering memberi komentar yang membatasi kebebasan pribadi kamu.
Tadinya, mungkin niat ini baik, ingin tahu kabar atau menjaga keharmonisan, lama-lama terasa seperti kontrol yang berlebihan. Wajar jika ada rasa tanggung jawab satu sama lain. Namun, ketika perasaan individualitas dan kebebasan mulai menghilang, pasangan kamu bisa merasa ruang untuk diri sendirinya terampas.
Hal seperti ini menyebabkan energi emosional terkuras habis dan hubungan semakin tidak nyaman untuk dijalani.
6. Tanda Fisik

Marriage burnout bukan hanya menyerang perasaan atau pikiran saja. Jika dibiarkan terlalu lama tanpa sadar situasi ini bisa muncul dalam bentuk keluhan fisik. Beberapa tanda yang paling sering dirasakan antara lain adalah sakit kepala tanpa sebab, rasa lelah berlebihan meskipun sudah istirahat, gangguan tidur, hingga penurunan gairah seksual.
Sederhananya, tubuh dan pikiran itu saling terhubung. Ketika seseorang terus menerus merasa stres, tertekan, atau emosionalnya terkuras karena ketegangan dalam hubungan, tubuh akan memberi respons lewat berbagai gejala fisik.
Stres yang berkepanjangan dapat menyebabkan otot menegang dan menimbulkan tension headache. Kelelahan mental berkepanjangan bisa membuat tubuh terasa lesu dan kurang energi sepanjang hari. Selain itu, kurang tidur juga sering terdampak. Pikiran terus-menerus cemas atau overthinking tentang hubungan membuat tidur jadi kurang nyenyak. Tidak jarang, hal ini memengaruhi hubungan intim. Saat tubuh kelelahan dan pikiran dipenuhi beban, hasrat seksual cenderung ikut menurun.
7. Merasa Rendah Diri
Saat dilanda marriage burnout, kamu mungkin mulai mempertanyakan seberapa besar peranmu dalam hubungan ini. Pertanyaan, ”Apakah aku cukup baik sebagai pasangan?, ”Apakah aku sudah membuatnya bahagia?” bisa terus terlintas di kepala.
Lama-lama rasa percaya diri pun menurun. Perasaan ini muncul karena adanya jarak emosional yang mulai terbentuk antara pasangan. Saat komunikasi tak sehangat dulu, atau apresiasi dan perhatian makin jarang diberikan, seseorang merasa tidak dihargai atau kurang berharga.
Selain itu, kelelahan fisik dan mental juga ambil peran penting dalam memperkuat perasaan rendah diri ini. Saat energi terkuras oleh kesibukan pekerjaan, urusan tumah tangga atau anak, penampilan dan suasana hati berubah. Disinilah seseorang merasa kurang menarik, tidak semangat, dan akhirnya menarik diri.
8. Tidak ada motivasi dan rasa aman

Dulu, kegiatan favoritmu adalah ngobrol bersama di malam hari, merencanakan liburan, atau makan malam berdua – kini semuanya terasa hambar. Kegiatan yang dulu terasa menyenangkan bersama pasangan kini justru dihindari atau terasa melelahkan.
Hubungan jadi berjalan autopilot, sekadar memenuhi kewajiban, tanpa ada dorongan emosional dari dalam diri. Rasa aman dalam hubungan juga bisa perlahan terkikis. Rasa aman disini bukan tentang fisik saja, tetapi lebih kepada rasa nyaman dan bebas menjadi diri sendiri.
Kamu terus menerus memperhatikan perkataan, harus melakukan apa, dan itu akan sangat menyulitkan. Ketika hidup bersama rasa takut setiap hari, perasaan tenang dalam menjalani kehidupan rumah tangga semakin menjauh.
9. Selalu Merasa Kekurangan
Ketika mengalami marriage burnout, kebutuhan dalam hubungan baik itu fisik – dan terutama emosional, seperti merasa dihargai, didengar, dan dipahami, atau perhatian kecil dari pasangan akan merasa kurang.
Meskipun secara kasat mata semuanya tampak baik-baik saja, ada bagian di dalam diri yang selalu merasa kosong. Perasaan ini karena adanya kesenjangan antara harapan dan kenyataan dalam hubungan.
Ketika apresiasi kecil yang dulu rutin diberikan kini perlahan mulai menghilang, wajar jika muncul rasa tidak puas. Dengan begitu, seseorang bisa merasa semakin jauh secara emosional dari pasangannya.
Ini bukan salah siapa-siapa, melainkan lebih ke dinamika dalam pernikahan yang sudah berjalan cukup lama. Selalu merasa kekurangan itu wajar dan kamu pasti bisa melewatinya.
Itu dia beberapa tanpa yang sering muncul ketika pernikahan sedang dalam situasi marriage burnout. Sekarang, setelah memahami apa yang sedang terjadi, saatnya kamu tahu langkah-langkah konkret untuk mengatasi marriage burnout dan mengembalikan kehangatan dalam pernikahan.
Tips mengatasi marriage burnout

Kabar baiknya, marriage burnout itu bisa diatasi asal kamu dan pasangan tahu langkah-langkah yang tepat. Tidak ada hubungan sempurna, tetapi dengan perhatian dan komitmen, kamu bisa menjaga cinta tetap hangat, bahkan setelah bertahun-tahun bersama. Yuk, kita mulai!
1. Sempatkan Waktu Berdikusi
Di tengah kesibukan sehari-hari, kebanyakan pasangan suami istri lupa bahwa mereka harus benar-benar meluangkan waktu hanya untuk berbicara. Bukan hanya obrolan ringan soal pekerjaan rumah atau kebutuhan anak, melainkan diskusi tentang perasaan, harapan, dan mungkin juga kekhawatiran masing-masing.
Padahal, diskusi adalah salah satu kunci utama dalam menjaga kehangatan hubungan. Ya, kamu bisa luangkan waktu khusus, misalnya seminggu sekali, untuk benar-benar duduk duduk berdua tanpa gangguan.
Matikan sejenak tontonan kamu, letakkan ponsel, dan fokuslah pada satu sama lain. Momen ini dimulai dengan obrolan ringan, lalu perlahan mengarah pada diskusi yang lebih bermakna: Bagaimana perasaan masing-masing belakangan ini? Apakah ada hal yang sedang membuat bahagia dan sebaliknya?
Ingat, tujuan dari berdiskusi bukan untuk mencari siapa yang benar atau salah, melainkan untuk memperkuat rasa saling percaya dan mempererat ikatan sebagai pasangan.
2. Kembali Mempelajari Love Language Pasangan
Seiring waktu, kebutuhan emosional seseorang bisa berubah – termasuk dalam pernikahan. Apa yang dulu membuat pasangan merasa dicintai, mungkin sekarang sudah lagi tidak cukup.
Di sinilah pentingnya memahami dan kembali mempelajari love language pasangan. Bisa jadi, di awal pernikahan pasanganmu senang diberi pujian dan kata-kata manis. Namun, setelah melewati fase kesibukan membangun keluarga, kini ia lebih menghargai kegiatan-kegiatan sederhana duduk santai bersama atau saling membantu urusan rumah.
Jika kamu tetap mengekspresikan cinta dengan cara lama tanpa memahami kebutuhan yang kini berubah, hubungan pun bisa terasa hambar. Itulah mengapa penting untuk rutin ”mengupdate” pemahaman kita soal apa yang membuat pasangan merasa diperhatikan dan dihargai.
Cara memulainya sederhana. Ajak pasangan ngobrol dari hati ke hati dan perhatikan juga isyarat kecil dari kesehariannya. Terkadang, perubahan kecil seperti ini bisa membawa dampak besar bagi keharmonisan pernikahan.
3. Membangun Batasan

Dalam sebuah pernikahan, setiap orang merasa perlu ada untuk pasangan – setiap saat, dalam segala hal. Niat tersebut baik, tentu saja, ingin jadi pasangan yang perhatian dan suportif.
Namun, tanpa disadari, jika tidak ada batasan yang jelas, bisa-bisa justru kehilangan ruang untuk diri sendiri. Itu mengapa membangun batasan yang sehat dalam hubungan sangat penting. Batasan bukan berarti membuat jarak atau jadi egois.
Dengan adanya kesepakatan soal ruang pribadi, kebutuhan masing-masing, dan cara berkomunikasi yang nyaman, hubungan bisa jadi lebih dewasa serta harmonis. Kamu harus punya waktu khusus untuk melakukan hobi atau sekadar me time, sementara pasangan juga sama.
4. Melakukan Konseling
Saat menghadapi marriage burnout , tidak semua masalah bisa diselesaikan hanya berdua dengan pasangan. Ada kalanya, perasaan jenuh atau hambar itu sudah terlalu dalam, komunikasi semakin sulit, atau terdapat masalah lama yang belum selesai dan terus membayangi hubungan.
Konseling pernikahan bisa sangat membantu disini. Melibatkan pihak ketiga yang profesional – seperti psikolog atau konselor pernikahan adalah langkah dewasa untuk memperbaiki dan memahami dinamika hubungan secara objektif.
Lewat sesi konseling, kamu dan pasangan bisa belajar melihat masalah dari sudut pandang berbeda. Konselor akan membantu menggali akar permasalahan, membangun komunikasi sehat, serta memberikan strategi praktis untuk mengatasi hambatan.
Konseling juga menjadi ruang aman di mana kamu dan pasangan bisa mengekspresikan perasaan dan kebutuhan tanpa takut dihakimi atau disalahpahami. Saat ini, konseling juga semakin mudah diakses. Banyak psikolog menyediakan sesi secara online, sehingga kamu tidak perlu repot datang ke klinik atau lembaga tertentu.
5. Membangun Kebiasaan Saling Menghargai
Boleh sibuk dengan berbagai urusan, tetapi jangan sampai lupa untuk berhenti sejenak dan menghargai pasangan. Cukup dengan hal sederhana seperti mengucapkan terima kasih, memberi pujian tulus, atau menunjukkan rasa syukur atas hal-hal kecil yang dilakukan pasangan.
Mempraktikkan rasa syukur dan apresiasi tidak harus menghadirkan gestur besar atau kata-kata manis berlebihan. Kekuatan utamanya terletak pada konsistensi dalam memperhatikan dan menghargai hal-hal kecil.
Mengapresiasi pasangan yang rutin menyiapkan sarapan dengan selalu menghabiskan makanannya, mengucapkan terima kasih karena dia sudah mengantar anak ke sekolah, atau mengatakan bahwa kehadirannya membuat hari terasa lebih ringan.
Hubungan bisa jadi lebih positif, perasaan kedekatan meningkat, dan rasa cinta tumbuh kembali, bahkan di tengah-tengah kesibukan atau tekanan sehari-hari. Memulai kebiasaan baik bisa dilakukan kapan saja—tidak ada kata terlambat. Cobalah memberikan satu-dua kalimat apresiasi setiap hari. Perlahan, suasana rumah jadi lebih hangat dan komunikasi bisa lebih terbuka.
6. Perawatan Diri
Dalam menghadapi marriage burnout , banyak pasangan terlalu fokus mencari solusi lewat komunikasi atau aktivitas bersama. Memang, hal-hal itu penting. Namun, ada satu aspek yang sering terlewat – merawat diri sendiri. Seperti kita tahu, kesehatan fisik dan mental individu sangat memengaruhi kualitas hubungan.
Bagaimana kita bisa hadir sepenuhnya untuk pasangan jika diri sendiri saja kelelahan, stres, atau kehilangan semangat?
Bukan karena mementingkan diri sendiri. Dengan menjaga keseimbangan hidup, kita bisa menjadi pribadi yang bahagia, lebih sabar, dan siap membangun hubungan positif. Mulailah dengan hal-hal sederhana – cukup tidur, makan makanan bergizi, rutin berolahraga, atau meluangkan waktu untuk hobi yang disukai.
7. Istirahat
Wajar banget jika ada saat-saat di mana energi dan semangat mulai menurun. Ini waktu paling tepat bagi kamu dan pasangan mengambil cuti bersama untuk quality time dengan staycation di hotel atau merencanakan liburan singkat – bisa menjadi momen mempererat kembali ikatan emosional.
8. Sering Melibatkan Pasangan Dalam Hal Apapun
Tidak semua keputusan harus selalu didiskusikan berdua. Namun, ketika memilih menu makan malam, mendekor ulang rumah, menentukan film yang akan ditonton bareng di akhir pekan, bisa didiskusikan berdua, kan?
Hal-hal sederhana seperti ini bisa jadi perekat hubungan yang kuat di tengah huru-hara kehidupan dan rutinitas harian. Selain itu, dengan sering melibatkan pasangan dalam berbagai keputusan, kamu dan dia bisa saling belajar memahami sudut pandang satu sama lain.
9. Bangun Kebiasaan Bicara dari Hati
Terdengar sederhana, tetapi dalam praktiknya sering kali menjadi tantangan tersendiri. Banyak pasangan tanpa sadar mulai jarang berbagi perasaan, kekhawatiran, atau harapan satu sama lain. Padahal, seiring dengan bertambahnya usia pernikahan, kebutuhan untuk saling memahami justru semakin besar.
Mulai dengan hal kecil–as always, seperti saling bertanya bagaimana hari masing-masing, apa yang sedang dirasakan, atau berbagi cerita ringan – misalnya, mengalami kejadian lucu di tengah jalan. Kebiasaan seperti ini, bila dilakukan secara konsisten, dapat membantu membangun kembali hubungan intim kamu dan pasangan yang mungkin sempat hilang karena marriage burnout. Dimulai dengan hal kecil, maka kamu juga bisa mengungkapkan kelelahan, kejenuhan, atau harapan akan hubungan rumah tangga kedepannya tanpa takut dihadapi dan disalahkan.
Mengalami marriage burnout memang bukan hal mudah, apalagi ketika kamu dan pasangan penuh dengan kesibukan. Namun, penting diingat bahwa kondisi ini bukanlah akhir dari segalanya. Dengan kesadaran, komunikasi terbuka, serta usaha bersama, pernikahan yang sempat terasa hambar bisa kembali menemukan maknanya.
Pernikahan bukan soal berjalan tanpa lelah, tapi bagaimana kamu dan pasangan saling memahami saat kelelahan itu datang. Yuk, baca artikel menarik lainnya di WeddingMarket dan temukan inspirasi untuk merawat cinta bersama!
Cover | Foto: Pexels/Gustavo Fring