Pilih Kategori Artikel

Alasan Bulan Syawal Menjadi Bulan yang Disunnahkan untuk Menikah
Sedang mencari vendor pernikahan?,
Kunjungi WeddingMarket Fair 2024 dan
temukan ratusan vendor pernikahan terbaik

Selain menjadi bulannya silaturahmi, bulan Syawal, yang merupakan bulan setelah Ramadan, juga menjadi bulan yang banyak dijadikan pasangan sebagai waktu untuk menikah. Bulan Syawal sendiri adalah bulan yang penuh berkah bagi umat Islam. Selain menjadi waktu yang paling dinanti-nantikan setelah sebulan penuh ibadah dan pengampunan, bulan ini juga memiliki makna yang istimewa dalam konteks pernikahan.

Menikah di bulan Syawal memiliki nilai tersendiri dalam agama Islam, di mana keberkahan dan kebahagiaan dipercaya lebih melimpah pada saat-saat ini. Banyak ulama meyakini bahwa menikah di bulan ini adalah salah satu tradisi yang dianjurkan, karena dipercaya dapat membawa berkah dan keberkatan yang berlipat ganda dalam perjalanan hidup berumah tangga. Maka dari itu, tidak heran jika banyak pasangan yang memilih bulan Syawal sebagai waktu yang ideal untuk meresmikan ikatan suci pernikahan mereka. Selain karena tradisi, alasan apa lagi yang mendasari bulan ini menjadi bulan yang disunnahkan untuk menikah?

Mematahkan Keyakinan Jahiliyah

wm_article_img

Bulan ke-10 dalam kalender Islam Hijriah ini merekam salah satu peristiwa penting dalam kehidupan Nabi Muhammad, yakni pernikahan beliau dengan tiga perempuan pada bulan ini. Dahulu, dalam tradisi masyarakat jahiliyah Arab, bulan Syawal dianggap sebagai bulan yang kurang baik atau sial. Masyarakat pada waktu itu cenderung menghindari pernikahan di bulan ini, karena mereka percaya bahwa bulan ini membawa ketidakberuntungan.

Pandangan ini didasarkan pada keyakinan yang mengaitkan perilaku unta betina yang mengangkat ekornya (disebut sebagai Syalat an-naqah bi dzanabiha) dengan ketidakberuntungan dalam pernikahan. Dalam keyakinan ini, tindakan unta betina tersebut dianggap sebagai tanda bahwa mereka tidak mau atau enggan untuk menikah, sehingga hal ini dijadikan sebagai pertanda bahwa menikah di bulan Syawal dapat membawa kesialan.

Dalam sebuah hadits, ‘Aisyah radhiallahu anhu berkata “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menikahiku di bulan Syawal, dan mengadakan malam pertama denganku di bulan Syawal. Manakah istri beliau yang lebih mendapatkan perhatian beliau selain aku?” Salah seorang perawi mengatakan, “‘Aisyah menyukai jika suami melakukan malam pertama di bulan Syawal.” (H.R. Muslim, An-Nasa’i, dan yang lain)

wm_article_img

Berdasarkan hadis tersebut, sebagian ulama menganggap bahwa menikah atau melakukan malam pertama di bulan Syawal merupakan sesuatu yang disarankan. Imam Nawawi menjelaskan bahwa pernyataan ‘Aisyah, istri Nabi Muhammad, yang menyatakan demikian, dimaksudkan sebagai penolakan terhadap kepercayaan jahiliah dan khurafat yang berkembang pada masa itu. 

Imam Nawawi rahimahullah pun menegaskan bahwa keyakinan tersebut salah dan tidak memiliki dasar yang kuat. Ia pun menyampaikan bahwa kaum Muslim menolak konsep kesialan atau kepercayaan negatif terhadap bulan-bulan tertentu, karena dalam Islam tidak ada hari atau bulan yang dianggap membawa ketidakberuntungan.

Ibnu Katsir rahimahullah pun menjelaskan dalam kitab Al-Bidayah wan Nihayah (3/253), “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menikahi ‘Aisyah untuk membantah keyakinan yang salah sebagian masyarakat yaitu tidak suka menikah di antara dua id (bulan Syawal termasuk di antara idulfitri dan iduladha), mereka khawatir akan terjadi perceraian. Keyakinan ini tidaklah benar.”

Oleh karena itu, nasihat untuk menikah atau melakukan malam pertama di bulan Syawal sebagaimana disarankan oleh sebagian ulama adalah untuk mematahkan keyakinan yang salah dan membawa pengetahuan yang benar tentang ajaran Islam yang sesuai dengan ajaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Ini juga menggambarkan pentingnya penolakan terhadap kepercayaan jahiliah dan penyebaran pengetahuan yang benar dalam masyarakat Muslim.

Pernikahan Rasulullah di Bulan Syawal

wm_article_img

Sejarah mencatat bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menikahi ketiga istrinya pada bulan Syawal. Mereka adalah Saudah binti Zam’ah, ‘Aisyah binti Abu Bakar ash-Shiddiq, dan Ummu Salamah binti Abi Umayyah al-Makhzumiyah. Ketiganya merupakan bagian dari para istri Nabi Muhammad dan dihormati sebagai para ibu kaum Mukminin (ummahat al-mu'minin) dalam Islam.

Ketiga pernikahan tersebut menunjukkan bahwa Nabi Muhammad menikah pada bulan Syawal, dan hal ini memberikan contoh bagi umat Islam untuk tidak mempercayai kepercayaan negatif terhadap bulan tersebut. Sebaliknya, tindakan Nabi Muhammad tersebut menegaskan bahwa tidak ada larangan khusus untuk menikah pada bulan Syawal, dan bahwa pernikahan dapat dilakukan dengan berkah di bulan tersebut seperti di bulan-bulan lainnya. Sebagai pembelajaran, berikut sosok ketiga istri yang beliau nikahi di bulan Syawal:

1. Saudah binti Zam’ah

Saudah adalah wanita pertama yang dinikahi oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam setelah wafatnya Khadijah, istri beliau yang sangat dicintai. Beliau menikahi Saudah sekitar satu tahun setelah Khadijah meninggal.

Dalam sumber-sumber sejarah, tidak ada catatan yang menunjukkan bahwa Saudah adalah seorang wanita yang sangat cantik, kaya, atau memiliki kedudukan yang mempengaruhi pernikahannya dengan Nabi Muhammad. Namun, pernikahan mereka berlangsung atas dasar keberagamaan dan pertimbangan yang baik.

Saudah adalah salah satu dari pengikut setia Rasulullah yang sejak awal memeluk Islam, sehingga ia turut mengalami berbagai kesulitan dan penderitaan dalam mempertahankan keyakinan tauhidnya, terutama di tengah tekanan yang sangat kuat dari kaum kafir Quraisy di Makkah.

Setelah pernikahan dengan Saudah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kemudian menikahi ‘Aisyah binti Abu Bakar ash-Shiddiq, putri dari sahabat utamanya, Abu Bakar. Pernikahan dengan ‘Aisyah juga dilangsungkan pada bulan Syawal, sekitar tiga tahun setelah pernikahan dengan Saudah.

2. ‘Aisyah binti Abu Bakar

Pernikahan ‘Aisyah dengan Nabi terjadi atas petunjuk langsung dari Allah subhanahu wa ta’ala, sebagaimana yang diceritakan dalam mimpinya yang didasari oleh wahyu. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bercerita kepada ‘Aisyah bahwa ia melihatnya dalam mimpi selama tiga hari berturut-turut sebelum menikahinya, dengan malaikat membawa gambarnya yang tertutup kain sutera, menegaskan bahwa ‘Aisyah adalah istrinya.

Meskipun ‘Aisyah menikah dengan Nabi Muhammad ketika usianya baru sembilan tahun, namun mereka baru mulai hidup bersama saat ‘Aisyah mencapai usia 16 tahun. Hal ini mencerminkan norma umum pada zaman tersebut di mana perempuan dianggap telah dewasa pada usia tersebut. Pernikahan antara ‘Aisyah dan Nabi Muhammad juga bertujuan untuk mempererat hubungan persaudaraan dengan Abu Bakar, ayah ‘Aisyah dan salah satu sahabat utama Nabi.

Babak baru dalam kehidupan ‘Aisyah dimulai ketika ia menjadi bagian dari komunitas Muslim yang hijrah ke Madinah. Perannya sebagai istri Nabi Muhammad tidak hanya sebagai pendamping, tetapi juga sebagai salah satu tokoh yang berpengaruh dalam sejarah Islam. Keberadaannya memberikan inspirasi dan panutan bagi umat Islam hingga saat ini. Aisyah terkenal karena kecerdasannya, dan memegang peran sentral dalam penyaluran pengetahuan Islam pada periode setelah wafatnya Rasulullah, terutama pada masa sahabat dan tabiin.

3. Ummu Salamah

Salah satu dari istri-istri Nabi Muhammad yang disebutkan dalam Islam sebagai Ummul Mukminin atau ibu para mukminin adalah Ummu Salamah, yang bernama lengkap Hindun binti Abu Umayyah Hudzafah bin al-Hughirah al-Qurasisyiyah al-Makhzumiyah. Beliau adalah salah satu perawi hadits terkemuka yang meriwayatkan total sebanyak 388 hadits.

Ummu Salamah dikenal di kalangan sahabiyah karena komitmennya yang kuat terhadap dakwah Islam. Beliau adalah seorang wanita mukminah yang memiliki sifat jujur, setia, dan sabar. Setelah kepergian suaminya, Abu Salamah, yang gugur dalam Perang Badar, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam meminta izin untuk meminangnya, dan sejarah mencatat, pernikahan keduanya terjadi pada bulan Syawal.

Mengikuti Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam

wm_article_img

Melangsungkan pernikahan pada bulan Syawal dengan niat yang benar dan ikhlas untuk mengikuti sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam merupakan tindakan yang dapat bernilai ibadah. Hal ini karena pernikahan tersebut dapat termasuk dalam kategori sunnah fi’liyah, yaitu sunnah yang dilakukan dengan mengikuti perbuatan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.

Dalam Islam, mengikuti sunnah Nabi merupakan bagian penting dari ibadah. Nabi Muhammad merupakan contoh terbaik bagi umat Islam, dan tindakan-tindakan beliau merupakan pedoman yang harus diikuti oleh umatnya. Oleh karena itu, jika seseorang berniat untuk menikah pada bulan Syawal dengan niat mengikuti sunnah Nabi Muhammad, maka pernikahan tersebut dapat dianggap sebagai bentuk ibadah.

Maka dari itu, jika kamu dan pasangan melangsungkan pernikahan pada bulan Syawal dengan niat yang benar dan mengikuti sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, maka langkah ini bisa menjadi cara yang baik untuk mendekatkan diri kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan mendapatkan keberkahan dalam pernikahan tersebut. Yuk, bismillah, persiapkan diri dengan matang!


Referensi: konsultasisyariah.com | muslimah.or.id | republika.id

Sedang mencari vendor pernikahan?,
Kunjungi WeddingMarket Fair 2024 dan
temukan ratusan vendor pernikahan terbaik

Article Terkait

Loading...

Article Terbaru

Loading...

Media Sosial

Temukan inspirasi dan vendor pernikahan terbaik di Sosial Media Kami

Loading...