Pilih Kategori Artikel

Bagaimana Hukum Nikah Kontrak dalam Islam, Bolehkah?
Diskon dan Penawaran Eksklusif Menantimu!
Kunjungi WeddingMarket Fair 25 -27 April 2025
di Balai Kartini (Exhibition & Covention Center)

Pernahkah kamu mendengar istilah nikah kontrak atau disebut juga nikah mut'ah? Sederhananya, nikah kontrak adalah pernikahan yang dilakukan dalam jangka waktu tertentu sesuai dengan kesepakatan. Tahukah kamu, praktik pernikahan kontrak masih marak dilakukan di Indonesia, meskipun nyatanya hal tersebut tak sesuai dengan ketentuan dan tujuan pernikahan baik secara hukum negara maupun syariat Islam. 

Bahkan, Majelis Ulama Indonesia (MUI) pun telah mengeluarkan fatwa yang menyatakan bahwa praktik pernikahan kontrak dan sejenisnya adalah haram. Walaupun para pelakunya kerap berlindung dibalik penyelenggaraan pernikahan yang 'katanya' mengikuti 'tata cara agama'. 

Lantas, apa sih sebenarnya nikah mut'ah itu? Bagaimana hukum nikah kontrak dan ketentuan selengkapnya? Yuk, kita bahas sampai tuntas!

Pengertian nikah kontrak 

wm_article_img

Istilah nikah kontrak atau dalam bahasa Arab disebut nikah mut'ah. Menurut qiyas Al-Musawi diartikan sebagai 'perkawinan sementara' atau 'perkawinan terputus'. Dalam hal ini, di mana seorang pria dan wanita melakukan perkawinan dengan periode waktu tertentu, misalnya untuk  sehari, seminggu, sebulan atau waktu yang ditentukan. Dengan kata lain nikah mut'ah adalah pernikahan kontrak untuk jangka waktu tertentu. 

Menurut ulama fiqih, Sayyid Sabiq, dalam bukunya yang berjudul Fiqh As Sunnah, nikah mut'ah tidak ada kaitannya dengan hukum-hukum pernikahan yang mana disebutkan dalam Al-Quran, antara lain mengenai perkara talak, iddah, serta masalah perwarisan suami istri. Maka dari itu, pernikahan dianggap tidak sah menurut syariat Islam. 

Nikah mut'ah haram! Lantas, mengapa praktik kawin kontrak ini tetap dijalankan? 

wm_article_img

Ada berbagai alasan yang dikemukakan oleh kaum syi'ah ataupun mereka yang menghalalkan nikah kontrak. Diantaranya, potongan ayat Al-Quran yang ditafsirkan dengan penambahan makna, sehingga seakan-akan memperbolehkan praktik kawin kontrak ini, yang berbunyi: ...Maka istri-istri yang telah kamu nikmati, di antara mereka (digunakan lafal istamta'tum bihi minhunna dalam ayat tersebut ), berikanlah kepada mereka mahar sebagai suatu kewajiban." (QS. An Nisa: 24). 

Dikutip dari jurnal unuja.ac.id,  pendapat kaum Syi'ah tersebut dikuatkan bacaan dari sahabat Rasulullah SAW, yaitu Ubay Ibnu Ka’ab dan Ibnu Abbas ra., yang menambahkan kata 'ilā ajalin musammā' yang ditafsirkan berarti 'sampai batas waktu tertentu'. Serta pandangan Jabir bin Abdullah yang menyatakan bahwa pelarangan dan pengharaman mengenai nikah Mut’ah berasal dari Umar ra., bukan dikarenakan adanya naskh shar’ī.

Sayyid Sabiq juga menerangkan bahwa tujuan dari nikah mut’ah telah melenceng, dimana hanya untuk memuaskan hasrat seksual semata. Apabila sudah terpenuhi hingga batas waktu yang ditetapkan maka pernikahan pun berakhir. Hal ini sangat berbeda dari tujuan pernikahan menurut Islam berdasarkan Al-Quran dan Hadist.

Perbedaan pandangan mahzab tentang hukum nikah kontrak

wm_article_img

Menilik kembali kepada sejarah, nikah mut'ah yang pernah diizinkan oleh Rasulullah SAW adalah ketika dalam kondisi bepergian dan berperang, saat itu saat kondisi syariah Islam belum stabil dan belum ditetapkan secara lengkap. Hal tersebutlah yang menimbulkan perbedaan pandangan tentang hukum nikah mut'ah di kalangan Syi'ah dan Sunni.

Kaum Syi'ah memperbolehkan nikah kontrak hingga kini dengan dalil surah An Nisa ayat 24. Namun, secara mutlak nikah mut'ah diharamkan, hal tersebut berdasarkan dalil ayat-ayat Al-Quran diantaranya: surah al-Mu’minūn (ayat: 5-7), aṭ-Ṭalaq (ayat: 1 dan 4), al-Baqarah (ayat: 228), yang menjadikan hukum dari surah al-Nisā’ ayat 24 tersebut tak berlaku lagi. 

Berdasarkan ayat-ayat Al-quran tersebut, dalam kitab Syarh Shahih Muslim oleh Imam Nawawi, diterangkan bahwa nikah mut'ah pernah diperbolehkan sebelum terjadi perang Khaibar, dimana pada masa tersebut masih merupakan zaman peralihan dari jahiliyah, sehingga beberapa hal masih memerlukan penyesuaian.

Pada masa itu, wanita masih dianggap sebagai objek dimana diperlakukan sebagaimana barang. Kondisi jarak medan perang yang jauh dari rumah para istri membuat mereka yang hendak berperang merasa berat, sehingga aturan nikah mut'ah diturunkan sebagai bentuk keringanan. Namun, nikah mut'ah telah diharamkan saat masa perang Khaibar.

Begitupula diperbolehkan ketika fathu Makkah atau pembebasan Kota Mekah yakni selama tiga hari. Kemudian, nikah mut'ah pun diharamkan setelahnya untuk selama-lamanya sampai hari kiamat.

Tata cara nikah kontrak yang dilakukan kaum Syi'ah

wm_article_img

Dalam praktik yang dijalankan oleh Mazhab Ja'fari, salah satu yang dianut para kaum syi'ah menjelaskan beberapa persyaratan dan ciri nikah kontrak diantaranya:

  • Mengucapkan ijab kabul dengan menyebutkan lafal nikah, kawin, atau mut'ah. 
  • Akad bagi pihak wanita “zawwajtuka nafsi'' yang artinya ‘saya nikahkan diriku’. Sementara akad bagi pihak pria yakni “qabiltu al-tazwij” yang artinya ‘saya terima nikahnya’ sebagai tanda si pria menerima wanita tersebut sebagai istrinya.
  • Menetapkan mahar tertentu, serta menyebutkan masa berlakunya sesuai dengan yang telah disepakati, seperti satu hari, dua hari, seminggu dan seterusnya.
  • Wanita yang boleh dinikahi secara mut'ah harus dalam keadaan bebas dari hal-hal yang membuatnya haram untuk dinikahi. Baik secara nasab, tidak menjalani ikatan perkawinan dengan pria lain, ataupun dalam kondisi lainnya seperti dalam keadaan iddah.
  • Pernikahan mut'ah tidak memerlukan wali dan saksi nikah.
  • Pernikahan akan berakhir seiring dengan habisnya waktu yang telah ditetapkan tanpa perlu adanya talak.
  • Apabila dikehendaki, ikatan perkawinan mut'ah boleh diperpanjang kembali sesuai waktu yang disepakati dengan memperbaharui akad serta mahar yang diberikan.
  • Pada pernikahan mut'ah tidak ada batas jumlah wanita yang boleh dinikahi, tetapi ada pula ulama syi'ah yang hanya memperbolehkan seseorang menikahi hingga empat wanita saja.
  • Tidak ada hukum waris mewarisi antara suami istri.

Hukum Nikah Kontrak

wm_article_img

Apabila ditinjau dari aspek syariat Islam, hukum nikah kontrak seperti yang telah disebutkan di atas memiliki perselisihan antara pengikut Syi'ah dan Sunni. Paham Syi'ah memiliki pandangan bahwah nikah mut'ah itu sah berdasarkan surah An-Nisa ayat 24 dengan penambahan 'istamta’tum' pada penafsirannya yang dijadikan dalil memperbolehkan kawin kontrak ini. Beberapa negara berpenganut aliran Syi'ah pun menetapkan aturan memperbolehkan nikah mut'ah dalam hukum negaranya, contohnya Iran.

Sementara itu, pernikahan mut’ah mutlak diharamkan menurut paham Sunni. Hal ini diperkuat oleh ayat-ayat dalam surah  al-Mu’minūn (ayat: 5-7), aṭ-Ṭalaq (ayat: 1 dan 4), al-Baqarah (ayat: 228), yang menerangkan bahwa surah al-Nisā’ ayat 24 tersebut tak berkaitan dengan mut'ah lagi. 

Apabila menilik dari segi hukum negara, pernikahan kontrak ini juga tak memenuhi unsur-unsur pernikahan menurut Undang-Undang Perkawinan Pasal 2 ayat (1), diantaranya: 

  • tidak sesuai dengan tujuan pernikahan yakni untuk membentuk rumah tangga yang bahagia dan kekal, sebab pernikahan kontrak hanya bersifat sementara dalam jangka waktu tertentu;
  • tidak dilaksanakan sesuai ketentuan pernikahan masing-masing agama, khususnya tak sesuai dengan aturan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI).
  • tidak melalui pencatatan berdasarkan peraturan perundang-undangan.

Lebih dalam lagi jika diteliti, perrkawinan kontrak juga bertentangan dengan beberapa ketentuan hukum Islam. Diantaranya, Pasal 2 dan Pasal 3 KHI.

Pada Pasal 2 disebutkan bahwa perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah. Sementara itu, konsep pernikahan kontrak sendiri bertujuan hanya untuk menyalurkan nafsu seksual, bukannya dilandasi dengan keinginan untuk melaksanakan ibadah.

Dalam Pasal 3 KHI juga diterangkan bahwa tujuan dari perkawinan dalam Islam adalah untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah. Lantaran pada perkawinan kontrak adanya jangka waktu terbatas yang ditetapkan, serta sejak awal sudah bertujuan untuk berpisah setelah masa kontrak berakhir, maka pernikahan ini jelas sekali menyimpang dari tujuan pernikahan sebagaimana dalam pasal tersebut. 

wm_article_img

Majelis Ulama Indonesia (MUI) pun mengeluarkan fatwa pada 25 Oktober 1977 yang melarang pernikahan mut'ah. Sebab bertentangan dengan tujuan akad nikah sesuai syariat, yakni untuk mewujudkan keluarga sejahtera dan melahirkan keturunan. Pelarangan nikah mut’ah juga karena bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Maka dari itu, MUI menetapkan fatwa haram untuk jenis pernikahan kontrak ini, pelakunya pun dapat dituntut ke pengadilan mengikuti ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

Nah, sudah jelas 'kan bagaimana hukum nikah kontrak ditilik dari berbagai aspek?! Semoga ulasan di atas dapat menambah pengetahuanmu, ya! Semoga bermanfaat!


Fotografi: Aspherica

Diskon dan Penawaran Eksklusif Menantimu!
Kunjungi WeddingMarket Fair 25 -27 April 2025
di Balai Kartini (Exhibition & Covention Center)

Article Terkait

Loading...

Article Terbaru

Loading...

Media Sosial

Temukan inspirasi dan vendor pernikahan terbaik di Sosial Media Kami

Loading...