Banyak pasangan Jawa menginginkan konsep pernikahan sesuai dengan sukunya. Salah satu konsep primadona yang menjadi impian banyak pasangan adalah Paes Ageng Kanigaran. Mengusung konsep pernikahan tradisional memang tidak akan ketinggalan zaman dan bisa melestarikan budaya-budaya Indonesia.
Paes Ageng Kanigaran merupakan salah satu model riasan pengantin khas Yogyakarta. Dulunya, konsep riasan ini hanya dapat digunakan oleh keluarga kerajaan, tetapi setelah pemerintahan Sri Sultan HB IX, Paes Ageng Kanigaran boleh digunakan oleh masyarakat umum untuk memperindah tampilannya di momen besar tersebut,
Sekarang ini, sudah banyak pasangan yang ingin menikah mulai menyadari, pernikahan kurang lengkap tanpa sentuhan budaya tradisional. Sentuhan riasan tradisional Yogyakarta ini akan memberikan kesan klasik, mewah, dan anggun bagi mempelai wanita. Paes Ageng Kanigaran memiliki ciri khasnya tersendiri yaitu penggunaan dodhot untuk melapisi kain cinde dan kemudian mengenakan kebaya bludru hitam.
Kebaya akan menyatu sempurna dengan dodhot dan cinde bersama detail riasan di wajah pengantin wanita. Sebagai salah satu riasan tradisional, tidak sembarang orang bisa merias Paes Ageng. Bagi periasnya, Paes Ageng memiliki makna sakral, banyak masyarakat percaya, orang yang memberi riasan memiliki kekuatan batin tersendiri.
Hasil riasan akan bersinar, cantik, dan memukau jika perias memiliki kebersihan hati, karena di setiap usapannya memiliki makna serta filosofi mendalam. Tentunya, setiap maknanya membawa kebaikan bagi pengantin wanita di hari pernikahannya.
Paes Ageng Kanigaran memiliki proses tersendiri
Riasan Paes Ageng memiliki prosesnya tersendiri dan setiap langkah mempunyai nama dan arti masing-masing, diantaranya:
Halup-halupan, proses ini dimulai dengan mencukur rambut sebagai dasar riasan. Rambut-rambut halus yang dicukur akan membuat wajah terlihat lebih bersih dan halus. Halup-halupan dilakukan dengan harapan dapat menghilangkan sifat-sifat buruk wanita yang tidak terlihat layaknya rambut halus tersebut.
Cengkorongan, pada tahap ini pola teratai akan dibentuk di atas wajah setelah dicukur. Mengapa teratai? Karena bunga tersebut memiliki makna kesucian, sesuai dengan hakikat pernikahan. Cengkorongan terbagi menjadi empat bagian simetris panunggul di daerah dahi, pengapit, panitis, dan ghodeg. Pangunggul memiliki makna harapan agar pengantin dihormati di kehidupan setelah pernikahan dan pangunggul dikawal oleh pengapit. Begitupun panitis yang memiliki makna ketelitian untuk membenarkan baik dan buruk serta ghodeg sebagai pelengkap di sisi kanan dan kiri panunggul.
Di tepi cengkorongan, diberikan ketep atau payet berwarna emas dan kemudian ditaburi prada (serbuk emas).
Di tengah dahi, tepatnya di antara dua alis terdapat hiasan berwarna hitam dengan bentuk belah ketupat yang disebut dengan citak. Citak sebagai harapan pengantin perempuan yang cerdas dan berakhlak baik.
Riasan Paes Ageng Kanigaran identik dengan warna keemasan yang disebut kinjengan dan memiliki makna tersendiri. Dengan adanya warna ini, diharapkan pengantin tetap ulet dalam menjalani kehidupan rumah tangga penuh liku-liku.
Setelah selesai merias wajah, perias akan melanjutkan riasan rambut dengan proses yang berbeda pula. Adapun prosesnya sebagai berikut:
Sanggul bokor mengkurep, riasan rambut ini diisi dengan daun pandan dan kemudian ditutup dengan rangkaian bunga melati. Kedua bunga ini memberikan harum yang religius dan kental dengan agama. Wewangian dari kedua daun tersebut sebagai lambang harapan agar kedua pengantin tetap membawa harum namanya di kehidupan selanjutnya,
Jebehan sritaman yang berupa susunan tiga bunga di bagian kanan dan kiri sanggul berwarna merah, kuning, dan hijau,
Kemudian, diberikan ceplok sebagai hiasan bunga di bagian tengah sanggul,
Melati dirangkai pada bagian bawah sanggul dengan posisi menjorok ke kanan yang dinamakan gajah ngoling. Sama seperti ornamen lainnya, gajah ngoling memiliki makna kesucian dan melambangkan tekad kedua mempelai untuk menjalani kehidupan setelah pernikahan.
Tidak hanya diberi riasan bunga di sekitar sanggul, Raja Keputen atau perhiasan Paes Ageng juga menjadi salah satu ornamen wajib untuk memperindah rambut. Ada empat perhiasan yang akan dipasangkan di sekitar sanggul untuk menambah keanggunan, diantaranya:
Centhung, hiasan ini berbentuk sisir kecil di bagian kanan dan kiri. Centhung memiliki makna gerbang yang menandakan pengantin wanita siap memasuki pintu kehidupan setelah pernikahan.
Pethat merupakan sisir emas berbentuk gunung yang melambangkan kesakralan dan di pasang di depan sanggul.
Pada bagian telinga, dipasangkan sumping yang bermakna kepekaan dan sensitivitas. Kedua hal ini diharapkan menjadi pegangan pengantin wanita agar tetap peka terhadap keadaan sekitarnya setelah menikah.
Cunduk mentul, ornamen sanggul yang dipasang menghadap belakang, biasanya berjumlah ganjil. Masing-masing jumlah memiliki lambangnya tersendiri, tiga cunduk mentul terpasang di atas sanggul untuk melambangkan trimurti. Jika berjumlah lima, berarti melambangkan rukun islam dan tujuh sebagai lambang pertolongan. Adapun, cunduk mentul berjumlah sembilan untuk melambangkan walisongo.
Dengan mengikuti aturan riasan Paes Ageng Kanigaran, wajah pengantin wanita akan semakin cantik dan anggun sesuai dengan konsep tradisional acara pernikahan. Untuk menambah kesempurnaan, konsep dekorasi pernikahan dapat disusun sedemikian rupa agar memberikan suasana keraton Yogyakarta.
Konsep pernikahan dengan tema keraton Yogyakarta akan memberikan kesan mewah dan megah. Salah satu konsep yang bisa dicontoh sebagai dekorasi acara adalah arsitektur bangunan Gedhong Kaca Museum HB IX dengan menggunakan tiang Soko Guru yang menjadi keunikan dan ciri khas bangunan keraton.
Kemudian, menggunakan dekorasi yang didominasi dengan warna emas, hitam, dan merah. Selain itu, suasana Yogyakarta yang kental dengan alunan musik lembut akan menjadi pelengkap yang sempurna. Tentu saja, dekorasi, riasan, dan busana pernikahan dengan konsep keraton tetap berkesan timeless dan tidak termakan oleh zaman, karena konsep tradisional memiliki pesonanya tersendiri.