Masih ingatkah kamu pada momen pernikahan selebgram sekaligus YouTuber Indonesia Ria Ricis dan Teuku Ryan beberapa waktu lalu? Pernikahan yang berlangsung meriah, mewah dan megah tersebut tak hanya mengusung konsep ala fairytale wedding, melainkan juga sangat kental dengan perpaduan tradisi dan adat istiadat. Semua unsur tradisional berhasil dikemas dalam nuansa modern sehingga sangat menarik perhatian.
Salah satu momen berkesan dalam pernikahan Ria Ricis dan Teuku Ryan, ketika sang pengantin wanita mempersembahkan sebuah tarian yang anggun nan gemulai di hadapan sang suami dan juga para tamu undangan yang datang ke pesta pernikahannya. Tarian yang indah itu bernama Tari Pagar Pengantin, sebuah ritual tradisi penyambutan yang dilakukan dalam pernikahan adat Palembang, Sumatera Selatan.
Tradisi dan keunikan yang terdapat dalam khazanah budaya yang ada di Indonesia, selalu menjadi hal yang menarik untuk dibahas. Terlebih lagi, setiap unsur dalam tradisi tersebut sarat akan makna dan filosofi kehidupan. Tak terkecuali pada tari Pagar Pengantin yang fenomenal. Bukan hanya sekedar gerakan lemah gemulai yang dipertontonkan sebagai hiburan, lebih dari itu ada pelajaran hidup yang terkandung dalam setiap gerakan maupun atribut yang dikenakan. Untuk mengenal tari khas adat Palembang ini lebih jauh, mari kita kupas satu per satu!
Sejarah dan Filosofi Tari Pagar Pengantin
Tari Pagar Pengantin adalah tari tradisional yang berasal dari Palembang, Sumatera Selatan. Tarian khusus yang ditampilkan pada acara resepsi pernikahan adat Palembang dan Sumatera Selatan ini sudah ada sejak tahun 1960-an. Seorang penari terkenal asal Sumatera Selatan, Hj. Sukainah A. Rojak, adalah orang yang berjasa menyusun tarian ikonik ini.
Beliau juga terkenal sebagai orang pertama yang menarikan Tari Gending Sriwijaya. Dilansir dari etnis.id, Tari Pagar Pengantin diciptakan atas permintaan pemerintah daerah Kabupaten Komering (Ogan Komering Ulu dan Ogan Komering Ilir) sebagai ciri khas tari penyambutan yang menjadi kebanggan masyarakat setempat.
Beberapa gerakan dalam tari Pagar Pengantin pun memiliki kesamaan dengan tarian penyambutan lainnya yang ada di Provinsi Sumatera Selatan, seperti Tari Gending Sriwijaya, Lilin Syiwa, Tari Tanggai, Tepak Keraton dan Penguton. Semenjak mulai diperkenalkan, Tari Pagar Pengantin pun berkembang, terutama di Kota Palembang. Hingga kini Tari Pagar Pengantin masih terus dilestarikan dan dijadikan tari pembuka pada saat upacara resepsi pernikahan adat Palembang.
Tari Pagar Pengantin memiliki keunikan tersendiri. Tarian ini diiringi empat orang penari pengiring yang bertindak sebagai dayang-dayang, sementara sang pengantin wanita menjadi penari utamanya. Sang pengantin wanita harus berdiri di atas nampan emas yang disebut 'dulang keemasan' saat menari. Dengan menggunakan tanggai, semacam lempengan berbentuk kuku palsu yang terbuat dari emas, sang pengantin wanita menari bersama para penari pengiring menampilkan gerakan-gerakan yang indah.
Tari Pagar Pengantin tak hanya merupakan tarian penyambutan untuk tamu di resepsi pernikahan, tetapi juga mengisyaratkan perpisahan dari mempelai wanita kepada kedua orangtuanya, keluarga, sanak saudara, dan sahabat-sahabatnya karena ia kini telah dipersunting oleh pria pujaan hatinya.
Tarian yang menjadi ciri khas pernikahan dengan adat Palembang Sumatera Selatan ini, juga menjadi simbol melepas masa lajang sang anak gadis dan bujang untuk menapaki kehidupan berumahtangga. Sekaligus, menjadi permohonan restu kepada kedua orang tua serta ungkapan rasa syukur kepada Tuhan.
Ragam Gerakan dalam Tari Pagar Pengantin dan Maknanya
Gerakan dalam Tari Pagar Pengantin secara umum dapat dibagi menjadi tiga bagian utama, yaitu: awal, inti dan penutup. Tarian ini diawali dengan masuknya para dayang (penari pengiring) ke panggung. Dua orang penari pengiring diantaranya membawa sebuah nampan emas yang kemudian diletakkan di area panggung, disebut dengan dulang keemasan.
Kemudian para penari melakukan gerak menghormat kepada tamu undangan, sebelum mereka menuju ke pelaminan untuk menjemput kedua mempelai pengantin menuju ke panggung. Sambil berdiri di atas dulang, sang pengantin wanita dipasangkan tanggai, semacam kuku-kuku emas berbentuk biduk (perahu) sekitar 10 cm di seluruh jari-jemarinya kecuali jempol oleh para dayang-dayang. Tanggai ini juga dikenakan oleh para dayang-dayang.
Atribut-atribut yang dikenakan oleh sang pengantin wanita tersebut tak hanya sebagai aksesoris atau pelengkap melainkan juga menyimpan makna tersirat. Tanggai yang dipasangkan ke jari-jari sang pengantin wanita menyimbolkan bahwa kendati kini gerak-geriknya telah dibatasi, namun ia harus tetap tampil cantik, anggun dan mempesona di hadapan sang suami.
Seusai tanggai dipakaikan seluruhnya di jari-jemari sang pengantin wanita, masuklah ke bagian inti dari tarian Pagar Pengantin ini. Sang pengantin mulai melakukan gerakan tarian terdiri dari lima macam koreografi, yakni: gerak borobudur, gerak sembah, gerak rebah kayu, gerak kecubung, gerak kenange sambil berdiri di atas dulang keemasan.
Uniknya, selama menari sang pengantin wanita berdiri di atas dulang keemasan yang menjadi simbol rumah tangga yang membatasi perilaku. Hal tersebut menyiratkan makna bahwa kini sang pengantin wanita tak sebebas dahulu lagi. Karena ia telah menjadi seorang istri, maka segala perilakunya kini harus atas izin sang suami.
Gerakan-gerakan pengantin wanita di atas dulang keemasan bagaikan sekuntum bunga teratai yang tengah mekar, terapung di atas daun teratai yang selama ini melindunginya. Gerakan yang dilakukan juga menjadi lambang keluhuran dan kemurnian keluarga dalam melepas kedua mempelai menuju kehidupan rumah tangga. Sementara itu, posisi sang pengantin pria yang berdiri di samping belakang pengantin wanita, pun menyiratkan makna. Posisi ini sebagai simbol bahwa sang suami siap menjaga sang istri.
Tarian yang selalu ditunggu-tunggu dalam pernikahan adat Palembang ini ditutup dengan gerakan penghormatan yang dilakukan oleh sang pengantin wanita. Lalu, dayang-dayang mulai melepaskan kembali tanggai dari jari-jemari pengantin wanita dan kedua pengantin pun diantarkan kembali oleh para dayang ke pelaminan. Setelah melaksanakan tugasnya, para dayang-dayang pun memberikan penghormatan terakhir kepada tamu undangan.
Sambil membawa kembali dulang, dayang-dayang berjalan menjinjit melakukan gerakan elang terbang ke luar panggung, pertanda bahwa tugasnya telah selesai dituntaskan. Persembahan Tari Pagar Pengantin biasanya hanya berkisar sekitar 10-15 menit. Tarian ini umumnya juga dibawakan oleh penari dayang yang usianya lebih muda dibandingkan dengan usia penari utama (bisa jadi pengantin wanita atau penari pengganti).
Busana dan properti yang digunakan
Pengantin wanita mengenakan pakaian adat Palembang yang disebut aesan gede. Baju pengantin tradisional dari Sumatera Selatan ini terdiri dari kain songket berupa songket lepus. Songket lepus dahulu hanya dikenakan oleh para raja dan keturunannya di Kesultanan Palembang. Sementara itu, para penari dayang mengenakan pakaian adat Palembang berupa aesan pasangko. Pakaian ini terdiri dari baju kurung beludru dengan taburan benang sulam emas, berpayet emas dan kain songket lepus.
Para penari dayang juga mengenakan aksesori berupa hiasan kepala yang terdiri dari tajuk kembang 3 rangkai, tampung (daun pandan), gandik (ikat kepala), sanggul petek, tebeng (hiasan telinga), kembang rumpai dan anting-anting. Hiasan tangannya terdiri dari kecak, gelang, tanggai (kuku palsu), serta cincin kenanga sekelopak 10 jari.
Aksesori lainnya terdiri dari pending, kalung ringgit 9 biji berantai manik 3 warna, serta teratai berbentuk panjang di bagian depan. Jangan lupakan pula properti pendukung yang sangat penting perannya yakni dulang keemasan sebuah nampan yang terbuat dari kuningan.
Umumnya pakaian yang digunakan baik oleh pengantin adat Palembang maupun para penari dayang untuk Tari Pagar Pengantin didominasi warna merah dan emas. Namun, seiring berkembangnya zaman berbagai modifikasi pun telah dilakukan, begitupun dengan warna pakaiannya.
Warna-warna lain selain merah dan emas pun sudah sering digunakan, contohnya pada pernikahan Raditya Dika dan Anissa Aziza yang menggunakan warna biru dan silver. Tak jarang pula ada pengantin yang memadukan kebaya modern dengan hiasan kepala suntiang Palembang, aesan gede atau aesan paksangko, seperti pada pernikahan mantan Gadis Sampul 2012, Anggis Dinda Pratiwi dan sang suami, Adam.
Musik pengiring
Tari Pagar Pengantin diiringi dengan musik tradisional dengan sebuah lagu yang berjudul "nasib", Yulius Toha adalah nama seniman penciptanya. Adapun pada awalnya sekitar tahun 1960-an instrumen pengiring yang digunakan antara lain terdiri dari: gong, rebana, ketipung, dan kenong. Seiring perkembangan zaman, alat musik yang digunakan pun menjadi semakin modern seperti biola, akordeon, saxofon, keyboard, dan simbal. Berikut lirik lagu dari Tari Pagar Pengantin:
"Aku laksana, aku laksana sekuntum bunga / Kini disunting menghias dalam mahligai kencana / Jangan dikenang, jangan dikenang masa yang lalu / Hatiku pilu bagai disayat buluh sembilu / Dua keluarga kini tlah menjadi satu, aduhai sayang/ Semoga kekal, hidup bersatu rukun berpadu / Ku mohon ampun pada ayah dan bunda, sanak keluarga / Ku mohon restu doakan kami selalu bahagia."
Demikianlah, ulasan mengenai Tari Pagar Pengantin dengan keunikan dan maknanya yang mendalam bagi sang pengantin. Tarian khas yang hampir selalu hadir di pernikahan adat Palembang ini semakin berkembang dari waktu ke waktu. Kini tak hanya tak hanya digunakan di Kota Palembang saja, tetapi juga hampir di seluruh Provinsi Sumatera Selatan. Bahkan, sudah ditampilkan pengantin Palembang di seluruh daerah di Indonesia.
Nah, mungkin kamu juga berminat menggunakan adat Palembang untuk pesta pernikahanmu kelak? Tak ada salahnya mempersembahkan tarian yang istimewa ini, selain membuat acara lebih sakral, kamu juga turut melestarikan budaya daerah Indonesia. Yuk, rencanakan pernikahanmu bersama WeddingMarket, karena kami siap membantu mewujudkan pernikahan impianmu!