Your Smart Wedding Platform

Tata Cara Prosesi Bubak Manten dan Filosofinya dalam Adat Jawa

21 Aug 2024 | By Intan Vandini Wedding Market | 217
Fotografi oleh Morden

Prosesi pernikahan dalam adat Jawa sarat dengan makna dan simbolisme, yang mencerminkan filosofi hidup serta nilai-nilai luhur yang telah diwariskan turun-temurun. Salah satu prosesi penting yang menjadi perhatian khusus adalah Bubak Manten, yakni sebuah ritual yang memiliki makna mendalam dalam kehidupan pernikahan. Prosesi ini tidak hanya sebagai serangkaian upacara semata, tapi juga menjadi simbol dimulainya kehidupan baru bagi pasangan pengantin.

Bubak Manten merupakan salah satu rangkaian dalam pernikahan adat Jawa yang melibatkan orang tua mempelai, khususnya mempelai wanita. Dalam prosesi ini, orang tua mempelai wanita memecahkan kendi sebagai simbol pembukaan jalan bagi kehidupan baru anak mereka yang kini telah bersuami. Ritual ini juga menggambarkan pengorbanan dan restu orang tua, yang siap melepaskan anaknya untuk memulai kehidupan baru bersama pasangan hidupnya.

Selain prosesi ini, ada juga prosesi lain dalam tradisi Bubak Manten yang mencerminkan nilai budaya Jawa yang sarat akan makna. Apa saja prosesi dan filosofi di dalamnya? Yuk, simak penjelasannya dalam artikel berikut!

Pengertian Bubak Manten 


Tradisi Bubak Manten, atau Bubak Kawah adalah salah satu tradisi yang keberadaannya cukup penting dalam perkawinan adat Jawa, yang diadakan pada saat resepsi pernikahan. Tradisi ini telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kebudayaan masyarakat Jawa selama berabad-abad, dan masih dilestarikan hingga kini oleh berbagai kalangan, baik yang beragama Islam maupun yang tidak.

Istilah "bubak" sendiri diambil dari kata "mbubak," yang secara harfiah berarti "membuka," merujuk pada makna simbolis dari tradisi ini, yaitu membuka atau memulai fase baru dalam kehidupan. Tradisi Bubak Manten memiliki makna yang sangat khusus dan sakral, karena merupakan sebuah upacara yang dilakukan oleh orang tua ketika menikahkan anak sulung mereka.

Dalam pandangan masyarakat Jawa, kehidupan manusia dianggap sebagai sebuah siklus yang terdiri dari beberapa fase utama, yaitu kelahiran, pernikahan, dan kematian, yang dikenal dengan istilah "metu-manten-mati" yang berarti lahir-menikah-meninggal. Setiap fase dalam siklus kehidupan ini diiringi oleh serangkaian upacara adat yang memiliki makna simbolis yang mendalam, dan Bubak Manten adalah salah satu upacara yang mewakili fase pernikahan dalam siklus tersebut. 

Makna dan Filosofi Bubak Manten


Bubak Manten merupakan tradisi yang sarat akan makna yang mendalam, di mana di dalamnya berisi doa-doa serta harapan orang tua terhadap kehidupan pernikahan anak mereka. Upacara ini bertujuan untuk memohon kepada Yang Maha Kuasa agar pasangan pengantin diberkahi dengan kekuatan, baik secara jasmani maupun rohani. Selain itu, tradisi ini juga mengandung harapan agar pengantin senantiasa hidup dalam kedamaian, serta diberi anugerah berupa keturunan yang sehat dan baik. 

Beberapa masyarakat Jawa di beberapa daerah juga meyakini bahwa upacara Bubak Manten memiliki pengaruh besar terhadap kelancaran rezeki bagi pasangan pengantin dan orang tua mereka. Ada kepercayaan yang berkembang bahwa jika upacara Bubak Manten belum dilaksanakan, maka pintu rezeki untuk kedua mempelai maupun orang tuanya belum terbuka sepenuhnya, yang artinya mereka mungkin akan mengalami kesulitan dalam mencari rezeki. 


Jika pada saat menikahkan anak pertama keluarga tersebut tidak mampu melaksanakan ritual Bubak Manten, tradisi ini bisa dilakukan pada kesempatan pernikahan berikutnya dalam keluarga. Tapi, penting untuk diperhatikan bahwa ritual tersebut harus tetap dilaksanakan oleh anak sulung, meskipun upacara ini baru dilakukan setelah pernikahan yang pertama. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya peran anak sulung dalam menjaga tradisi dan membuka jalan rezeki bagi seluruh keluarga.

Pada dasarnya, prosesi Bubak Manten ini sangat kental dan sarat akan ajaran agama Hindu. Tradisi ini menggunakan berbagai simbol untuk menyatakan kepercayaan kepada Tuhan, mirip dengan bagaimana umat Hindu menyembah Tuhan mereka dengan simbol-simbol. Contohnya, penggunaan sesaji, kain, dan prosesi lainnya. 

Di zaman sekarang, ketika mayoritas masyarakat Jawa beragama Islam, tradisi Bubak Manten pun dilakukan dengan tata cara ajaran Islam, yakni dengan membaca syahadat dan surah Al-Fatihah sebelum acara dimulai. Cara ini dilakukan agar prosesi Bubak Manten tetap mempertahankan tradisi lama, tapi disesuaikan dengan ajaran Islam agar selaras dengan lingkungan masyarakat sekitar dan menghindari perbedaan pendapat.

Peralatan yang Digunakan dalam Prosesi Bubak Manten


Pelaksanaan upacara Bubak Manten ini melibatkan penggunaan berbagai peralatan tradisional, yang juga digunakan dalam upacara-upacara adat Jawa lainnya. Setiap elemen dalam upacara ini memiliki nilai dan makna tersendiri, sehingga menjadikan Bubak Manten sebagai tradisi yang kaya akan simbolisme dan budaya, serta memperkaya warisan leluhur yang terus dijaga oleh masyarakat Jawa hingga saat ini.

Pemilihan peralatan ini tidak dilakukan dengan sembarangan, loh, karena dipilih dengan penuh pertimbangan karena masing-masing alat memiliki nilai filosofis serta makna doa didalamnya. Berikut penjelasan tentang fungsi dan makna peralatan yang digunakan dalam prosesi Bubak Manten:

1. Gendhaga Kencana

Gendhaga kencana adalah sebuah kendi yang melambangkan seorang pria. Di dalamnya berisi berbagai bahan seperti bunga setaman, kemiri, telur, bawang merah, bawang putih, nasi, cabai, kacang hijau, dan sirih, yang dibacakan syahadat serta doa-doa lainnya oleh pemuka adat. Prosesi ini melambangkan harapan agar mempelai pria bisa menjadi pemimpin dalam rumah tangga dan membimbing istrinya menurut ajaran agama.

2. Gendhaga Mulya

Gendhaga mulya adalah sebuah kendi yang melambangkan seorang perempuan. Isinya terdiri dari bahan-bahan lama seperti beras, jagung, kedelai, kacang, emas lama (jika ada), asam jawa lama, dan uang lama. Ini melambangkan bahwa perempuan adalah penjaga dan pengelola kebutuhan rumah tangga yang diberikan oleh suaminya. Barang-barang lama dalam kendi tersebut menggambarkan bahwa sesuatu yang disimpan secara bertahap akan bertambah banyak dan berguna di masa depan.

3. Cok Bakal

Cok bakal berasal dari kata "cok" yang berarti cikal atau awal, dan "bakal" yang berarti permulaan. Cok bakal melambangkan awal kehidupan dan hubungan antara Tuhan dan manusia. Isinya termasuk bunga setaman, kemiri yang belum dikupas, telur, bawang merah, bawang putih, nasi, cabai, kacang hijau, dan daun sirih sebagai alasnya. Cok bakal disimpan dalam wadah yang terbuat dari daun pisang, yang disebut bakir

Cok bakal memiliki peran penting dalam berbagai tradisi Jawa, seperti penanaman padi, pernikahan, dan pembangunan rumah baru. Telur di dalam Cok bakal melambangkan asal mula kehidupan manusia. Masyarakat Jawa menggunakan Cok bakal sebagai bentuk sedekah dan ungkapan syukur kepada Tuhan agar acara pernikahan berjalan dengan lancar.

4. Sesajen

Sesajen adalah persembahan berupa minuman, makanan, atau barang-barang yang berkaitan dengan acara tertentu. Dalam pernikahan, sesajen bisa terdiri dari cok bakal, daun andong, daun otok, daun palungan, daun beringin, alang-alang, daun tebu, kembang mayang, janur, rokok, gula, beras, pisang, kelapa tua, kendi kecil, alat jahit, dan sego golong (nasi kepal). Tempat untuk menyimpan sesajen disebut iker, yang terbuat dari pelepah pisang yang dibentuk menjadi segi empat dan disambung dengan bambu agar wadahnya kuat.

5. Pisang Raja


Pisang raja melambangkan doa dan harapan agar kedua pengantin menjalani kehidupan yang penuh kesejahteraan dan keadilan. Sama seperti seorang raja yang bijaksana memerintah kerajaannya dengan adil dan sejahtera, pisang raja menjadi simbol harapan bahwa pasangan pengantin akan mampu membangun kehidupan rumah tangga yang harmonis, diliputi kebahagiaan, kemakmuran, dan kebijaksanaan dalam menghadapi setiap tantangan yang mereka hadapi bersama. Pisang raja tidak hanya menjadi lambang kekuatan dan keteguhan hati, tapi juga pengingat akan pentingnya kepemimpinan yang bijak dalam menjaga keseimbangan dan keadilan dalam kehidupan berumah tangga.

6. Kain Mori

Kain mori adalah kain yang melambngkan kesucian, digunakan sebagai alas gendhaga. Kain ini tidak hanya berfungsi sebagai alas, tapi juga membawa makna mendalam tentang ketulusan. Dalam konteks upacara atau tradisi, penggunaan kain mori menandakan niat yang murni dan suci dari semua pihak yang terlibat. Ini mencerminkan harapan bahwa segala sesuatu yang dilakukan di atas kain tersebut, termasuk ritual atau persembahan, akan dilaksanakan dengan hati yang bersih dan niat yang tulus, sehingga membawa berkah dan kebaikan bagi semua yang terlibat.

7. Tikar Pandan

Tikar pandan adalah alat tambahan yang sering digunakan dalam upacara dan memiliki makna simbolis yang penting. Tikar ini berfungsi sebagai tempat duduk atau alas, menciptakan ruang yang sakral dan nyaman bagi para peserta upacara. Dalam tradisi, tikar pandan melambangkan kesederhanaan, kerendahan hati, dan keterikatan pada nilai-nilai budaya. 

Prosesi dan Tata Cara Bubak Manten


Di beberapa daerah, tradisi Bubak Manten dilakukan setelah upacara resepsi pernikahan, sementara di daerah lain, tradisi ini dilaksanakan sebelum prosesi akad nikah. Meskipun waktu pelaksanaannya berbeda, tapi urutan prosesinya kurang lebih sama. Tradisi ini diikuti oleh kedua orang tua calon pengantin, saudara kandung, serta kyai atau tokoh masyarakat yang memimpin doa. Setelah itu, tahapan-tahapan berikutnya dari prosesi Bubak Manten diantaranya:

1. Menyalakan Api dan Menanak Nasi

Tahap pertama dilakukan oleh orang tua laki-laki dan perempuan dari pihak yang menyelenggarakan acara. Sang Ayah dari pengantin menyalakan api menggunakan kayu klampis, sementara sang Ibu menanak nasi sebagai awal dari tradisi Bubak Manten. Sebelum memulai, biasanya mereka akan membaca surat Al-Fatihah tiga kali dan Syahadat tiga kali.

2. Nyiarne Daringan Kebak

Nyiarne adalah kegiatan pemberitahuan kepada warga sekitar bahwa daringan (wadah beras) sudah penuh. Setelahnya, tuan rumah membuka kedua gendhaga dan menempatkan sesajen di empat tiang rumah. Kendil ini kemudian diletakkan di meja bersama dengan semua uba rampe (sesajen) untuk bubakan. Selanjutnya, orang tua pengantin membuka daringan kebak masing-masing. Kemudian pawang atau tetua adat akan menjelaskan isi dari daringan kebak tersebut. Mereka juga mengumumkan apakah pengantin yang akan dinikahkan adalah anak pertama atau terakhir.

3. Membuka Daringan Kebak atau Gendhaga


Tahapan ini diawali dengan menggendong kedua gendhaga keluar rumah dengan menggunakan kain jarik, lalu diletakkan di meja dan duduk mengikuti acara yang dipimpin oleh tokoh masyarakat. Gendhaga diletakkan di atas kain mori yang telah diberi alas, lengkap dengan satu tangkep pisang raja, satu kendi berisi air putih, dan lampu minyak sebagai penerangan.

Setelah perlengkapan siap, tuan rumah meminta saksi dari tamu undangan sebelum membuka gendhaga secara bergantian, didahului dengan membaca Al-Fatihah. Tokoh masyarakat kemudian menjelaskan makna dari isi gendhaga

4. Hiburan dan Penutup


Pada tahap ini, ada yang menyertakan hiburan berupa tari orek-orek atau tari gambyong, tapi ada juga yang langsung masuk ke acara penutupan tanpa hiburan. Hiburan dimulai dengan tarian yang diikuti penyerahan selendang kepada para saksi dan orang tua pengantin. Ayah membawa centong kayu baru, dan ibu membawa wedhak ripih

Di beberapa daerah, tradisi Bubak Manten ini diikuti dengan prosesi khusus di mana alat-alat rumah tangga menjadi bagian dari acara. Dalam acara ini, seorang pria akan memikul sebuah bakulan yang berisi berbagai alat rumah tangga sebagai bagian dari upacara. Setelah itu, para tamu diundang untuk ikut serta dalam kegiatan rebutan, di mana mereka bisa mengambil alat-alat rumah tangga yang telah disediakan. Acara ini tidak hanya menambah keseruan, tapi juga melambangkan kebersamaan dan kepedulian terhadap kebutuhan rumah tangga pengantin baru.

Setelah seluruh prosesi ini selesai, tetua adat (modin/kyai) akan meminta kesaksian dari semua hadirin bahwa orang tua pengantin telah melaksanakan upacara tradisi Bubak Manten. Sebagai tanda terima kasih, orang tua pengantin akan memberikan buah pisang dan uang kepada para tamu undangan, dan diakhiri dengan doa dan permohonan maaf dari tuan rumah kepada para saksi jika ada kesalahan selama acara.

Prosesi Bubak Manten dalam adat Jawa bukan hanya serangkaian ritual untuk menguatkan hubungan pengantin, tapi juga mencerminkan nilai-nilai budaya dan filosofi hidup masyarakat Jawa. Setiap tahapannya mengajarkan tentang pentingnya keselarasan, penghormatan terhadap leluhur, dan penyatuan dua keluarga. Memahami proses dan makna Bubak Manten bisa memberikan wawasan yang lebih tentang kekayaan budaya Jawa, dan juga akan menambah pengalaman dalam merayakan salah satu momen penting dalam kehidupan.


Foto cover: Morden via Mamie Hardo | Sumber referensi: JRPP


Artikel Terkait



Artikel Terbaru