Selain mempersiapkan segala macam keperluan pernikahan seperti tenda, dekorasi, seserahan, dan yang lainnya, penting juga bagi calon pengantin, khususnya wanita, sudah mengetahui siapa yang kelak akan menjadi wali nikahnya. Bagi pengantin perempuan, seorang wali nikah memiliki peran yang sangat penting, karena tanpa wali nikah, maka prosesi ijab qabul tidak bisa dilakukan, dan pernikahan pun tidak akan sah.
Dalam Islam sendiri, wali nikah diharuskan merupakan anggota keluarga laki-laki dari keluarga perempuan, dan tugas ini tidak bisa sembarangan bisa dilakukan oleh siapapun. Ada urutan hierarki yang harus dipahami dan diikuti, sehingga sangat penting untuk diketahui apa saja syarat dan urutan dari seorang wali nikah ini. Kalau kamu sendiri, sudah tau belum? Kalau belum, yuk cari tau dari artikel berikut!
Pengertian Wali Nikah
Keberadaan wali nikah dalam pernikahan menjadi sangat penting karena berkaitan dengan sah atau tidaknya pernikahan itu sendiri. Hal ini ditegaskan oleh Rasulullah Sallallahu ‘alaihi wasallam dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Ummul Mukminin ‘Aisyah Radhiyallahu ‘anha, “Wanita yang menikah tanpa wali, maka pernikahannya batal. Pernikahannya batal. Pernikahannya batal.”
Begitu keras penekanan pentingnya keberadaan wali dalam pernikahan seorang Muslim, dimana apabila wali nikah tidak ada, maka tidak ada pula pernikahan bagi kedua calon mempelai. Dalam konteks peraturan di Indonesia, keberadaan wali juga diharuskan dalam sebuah pernikahan, dimana hal ini tercantum dalam Pasal 19 Kompilasi Hukum Islam yang menyatakan bahwa keberadaan wali nikah adalah salah satu syarat penting yang harus dipenuhi oleh calon mempelai perempuan yang bertindak untuk melangsungkan pernikahan.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, wali berarti orang yang menjadi penjamin dalam pengurusan atau pengasuhan anak, atau pengasuh pengantin perempuan pada waktu menikah. Dalam bahasa Arab, istilah wali merujuk pada seseorang yang dipercaya atau pelindung. Sementara dalam ilmu fiqih, yang dimaksud dengan perwalian adalah bentuk penguasaan penuh yang diberikan oleh agama kepada seseorang untuk menguasai dan melindungi orang atau barang.
Untuk konteks pernikahan sendiri, wali dapat diartikan sebagai seseorang yang bertindak sebagai perwakilan atau wakil dari pihak perempuan dalam proses akad pernikahan. Hal ini mungkin muncul karena adanya anggapan bahwa perempuan tersebut kurang mampu atau kurang cakap dalam mengungkapkan keinginannya secara mandiri dalam konteks akad pernikahan.
Sehingga, diperlukan seorang wali yang akan berperan dalam melaksanakan akad nikah dalam pernikahan tersebut. Wali nikah biasanya adalah pihak keluarga atau individu yang memiliki kepercayaan dan tanggung jawab untuk memastikan bahwa pernikahan berlangsung sesuai dengan syarat-syarat agama dan hukum yang berlaku.
Wali Nikah dalam Pandangan Beberapa Mazhab
Ada perbedaan pendapat dari beberapa mazhab mengenai perlu tidaknya seorang wali nikah bagi seorang perempuan yang akan menikah. Menurut Imam Abu Hanifah dengan Mazhab Hanafi, wali nikah adalah syarat bagi anak kecil, orang gila, dan budak. Orang merdeka dan mukhalafah (yang telah mencapai usia baligh dan berakal sehat) diperbolehkan untuk melangsungkan akad nikah sendiri tanpa wali, asalkan mereka tidak hamil.
Pendapat ini bertentangan dengan tiga imam lainnya, yakni Imam Maliki, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hanbal, dimana ketiganya berpendapat bahwa wali nikah harus ada dalam setiap akad nikah, baik itu calon mempelai wanita masih berusia kecil atau sudah dewasa, baik dia seorang gadis atau perawan. Namun, wanita dewasa yang sudah pernah melakukan hubungan badan (janda) memiliki hak persetujuan dalam menentukan pasangan hidupnya.
Di Indonesia sendiri, mazhab yang banyak dianut dan diikuti adalah mazhab Syafi’i. Menurut pandangan mazhab Syafi'i, peran dan keberadaan wali dalam konteks pernikahan adalah sangat penting. Hal ini dikarenakan dalam pembahasan pernikahan, tidak dapat terjadi pernikahan yang sah tanpa adanya seorang wali. Oleh karena itu, keberadaan seorang wali menjadi salah satu syarat penting untuk memastikan keabsahan suatu pernikahan.
Alasan utama yang mendukung pandangan ini ditemukan dalam hadits Rasulullah shallallahu ‘’alaihi wasallam yang diriwayatkan oleh Abu Daud dari Aisyah, yang berbunyi, “dari Aisyah ia berkata: “Setiap wanita yang menikah tanpa seizin walinya, maka pernikahannya adalah batal (tiga kali). Apabila ia telah mencampurinya maka baginya mahar karena apa yang ia peroleh darinya, kemudian apabila mereka berselisih maka penguasa adalah wali bagi orang yang tidak memiliki wali.”
Jadi, secara garis besar dan sesuai dengan mazhab yang dianut di Indonesia dan sesuai Hukum Islam, seorang wali nikah wajib hadir dalam prosesi pernikahan, agar pernikahan tersebut bisa dilakukan dan dikatakan sah.
Syarat-Syarat Wali Nikah
Karena perannya yang begitu penting dalam proses pernikahan, ada beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh wali nikah. Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 20, dijelaskan bahwa wali nikah adalah seorang pria yang memenuhi persyaratan tertentu, yakni beragama Islam, berakal, dan telah mencapai usia baligh.
Sedangkan dalam buku Pedoman Pegawai Pencatat Nikah dan Pembantu Pegawai Pencatat Nikah, persyaratan seseorang untuk menjadi seorang wali nikah diantaranya beragama Islam, baligh, berakal, tidak dipaksa, terang lelakinya, adil, tidak sedang ihram haji atau umroh, tidak dicabut haknya dalam menguasai harta bendanya oleh pemerintah dan tidak rusak pikirannya karena tua atau sebagainya.
Secara umum, syarat menjadi wali nikah adalah sebagai berikut:
1. Beragama Islam
Apabila calon pengantin beragama Islam juga. Dengan keras Allah melarang seseorang yang bukan Muslim menjadi wali nikah yang melibatkan pihak Muslim. Hal ini sesuai dengan prinsip-prinsip dalam hukum Islam yang menetapkan bahwa perkawinan antara seorang Muslim dengan seorang non-Muslim (kafir) tidak sah, kecuali dalam kasus tertentu yang diatur dengan ketentuan khusus dalam hukum Islam.
Hal ini bahkan dijelaskan dalam Al-Qur’an Surat Al-Imran ayat 28 yang berbunyi, “Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang mukmin. Barang siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah.”
2. Telah dewasa atau mukallaf
Merujuk pada Kompilasi Hukum Islam, jika dihitung umur, maka umur wali tersebut sekurang-kurangnya adalah 15 tahun. Anak kecil tidak diperbolehkan menjadi seorang wali nikah karena dinilai belum bisa memahami situasi dan juga belum bisa mempertanggungjawabkan perbuatannya.
3. Haruslah seorang laki-laki
Perempuan tidak boleh menjadi seorang wali, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘’alaihi wasallam, dari Abu Hurairah, ia berkata, “Wanita tidak bisa menjadi wali wanita. Dan tidak bisa pula wanita menikahkan dirinya sendiri. Wanita pezina-lah yang menikahkan dirinya sendiri.” Mengapa wanita tidak bisa menjadi wali? Karena menurut beberapa ulama, perempuan dianggap memiliki kekurangan dan tidak bisa mewakilkan dirinya sendiri, apalagi orang lain.
4. Bersifat rasyid
Seorang wali nikah haruslah bersifat rasyid, dimana dia merupakan seseorang yang berakal, bijaksana, dan cerdik. Sifat-sifat ini mutlak dimiliki oleh seorang wali nikah untuk menjaga kemaslahatan calon pengantin, terutama perempuan, dengan memastikan bahwa mereka menikah dengan seseorang yang sesuai dan memenuhi syarat-syarat yang diperlukan.
Dengan memiliki wali yang berakal dan bijaksana, diharapkan bahwa kepentingan perempuan yang menjadi perwaliannya akan lebih terjaga dalam proses pernikahan. Selain itu, seorang anak-anak atau seseorang yang sudah hilang ingatan karena faktor usia juga tidak diperbolehkan menjadi wali nikah, karena dianggap tidak bisa mewakili orang lain.
5. Merdeka atau tidak sedang dalam pengampunan orang lain
Karena apabila seseorang dalam kondisi ini, ia tidak bisa menjadi wali nikah karena tidak bisa berbuat sesuai dengan kehendaknya. Dalam pandangan mazhab Syafi'i, kebebasan adalah syarat penting bagi seseorang yang akan menjadi wali dalam pernikahan, karena dengan begitu, ia dapat bertindak dengan bebas dan tanpa pengaruh atau paksaan dari pihak lain dalam melaksanakan tugasnya sebagai wali dalam akad perkawinan.
6. Adil, atau dalam pandangan mazhab Syafi’i, adil berarti juga cerdas
Kecerdasan yang dimaksud adalah kemampuan untuk menggunakan akal pikiran secara optimal dan dengan keadilan yang seimbang. Pendapat lain tentang cerdas disini juga berarti orang yang menjadi wali harus menjaga dirinya agar tidak terlibat dalam dosa besar atau sering melakukan dosa kecil, dan tetap menjaga tingkah laku yang sopan dan santun.
Macam-Macam Wali Nikah
Dalam Pasal 20 ayat 2 Kompilasi Hukum Islam, ada dua jenis wali yang terlibat dalam proses pernikahan, yaitu wali nasab dan wali hakim. Wali nasab adalah wali yang memiliki hubungan keluarga dengan salah satu pihak yang akan menikah, sementara wali hakim adalah wali yang ditunjuk oleh pengadilan atau otoritas yang berwenang untuk bertindak sebagai wali jika tidak ada wali nasab yang sah atau jika wali nasab tidak dapat melaksanakan tugasnya dengan baik.
1. Wali Nasab
Wali Nasab adalah wali yang masih mempunyai hubungan darah dengan calon pengantin perempuan, bisa orang tua atau saudara kandung, yang berarti wali dekat atau wali qarib, atau bahkan saudara jauh, yang disebut wali ab'ad. Ada empat kelompok yang termasuk dalam wali nasab, diantaranya adalah:
- Kelompok pertama: anggota keluarga laki-laki yang berhubungan secara langsung ke atas garis keturunan, seperti ayah, kakek dari pihak ayah, dan seterusnya.
- Kelompok kedua: kerabat laki-laki yang merupakan saudara kandung atau saudara seayah dari keturunan laki-laki mereka.
- Kelompok ketiga: kerabat laki-laki paman, yaitu saudara laki-laki dari ayah, saudara laki-laki seayah, dan keturunan laki-laki mereka.
- Kelompok keempat: saudara laki-laki kandung dari kakek, saudara laki-laki seayah kakek, dan keturunan laki-laki mereka.
Jika diurutkan, maka yang berhak menjadi wali nikah menurut keterangan Abu Syuja’ rahimahullah adalah sebagai berikut:
- Ayah
- Kakek (kakek dari pihak ayah)
- Saudara laki-laki kandung (kakak atau adik seayah dan seibu)
- Saudara laki-laki seayah (saudara laki-laki dari ayah yang sama, namun beda ibu)
- Anak saudara laki-laki seayah dan seibu (keponakan)
- Anak saudara laki-laki seayah
- Paman (saudara laki-laki ayah, dengan prioritas pada yang lebih tua)
- Anak laki-laki paman dari pihak ayah (sepupu)
Jika semua wali di atas tidak ada, maka wali hakim menjadi alternatif terakhir yang berhak menjadi wali nikah.
2. Wali Hakim
Wali Hakim adalah seseorang yang bertindak sebagai wali nikah karena ditunjuk oleh Menteri Agama atau pejabat yang ditunjuk olehnya. Dalam pasal 23 ayat 1 dijelaskan bahwa Wali Hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah apabila wali nasab tidak ada, tidak dapat hadir, tidak diketahui tempat tinggalnya, ghaib, atau menolak untuk melaksanakan tugas tersebut.
Dijelaskan pula dalam pasal 1 huruf (b) Kompilasi Hukum Islam, bahwa Wali Hakim adalah Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan yang dipilih oleh Menteri Agama untuk bertindak sebagai wali nikah bagi calon mempelai wanita yang tidak memiliki wali. Hal ini diperjelas oleh sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang berbunyi “Maka hakimlah yang bertindak menjadi wali bagi seseorang yang tidak ada walinya.” (HR Ahmad, Abu Daud, Ibnu Majah, dan Nasa’i).
Seseorang bisa menjadi wali hakim dalam akad nikah jika dalam keadaan-keadaan berikut:
- Ketika tidak ada wali nasab yang tersedia.
- Ketika wali aqrab atau wali ab'ad tidak memenuhi syarat-syarat yang diperlukan.
- Ketika wali aqrab berada dalam keadaan ghaib atau pergi dalam perjalanan sejauh ± 92,5 km atau dua hari perjalanan.
- Ketika wali aqrab berada dalam penjara dan tidak dapat dihubungi.
- Ketika wali aqrab adalah seorang adlal (tidak memiliki integritas moral atau etika yang baik).
- Ketika wali aqrab berbelit-belit dan menghambat proses pernikahan.
- Ketika wali aqrab sedang dalam keadaan ihram (sedang menjalankan ibadah haji atau umrah).
- Ketika wali aqrab adalah calon mempelai itu sendiri.
- Ketika seorang wanita akan dinikahkan dalam keadaan gila, tetapi sudah dewasa, dan tidak ada wali mujbir yang tersedia.
Nah, itu tadi pengertian tentang wali nikah, syarat-syarat menjadi wali nikah, dan juga macam-macamnya. Meskipun ada pendapat ulama yang mengatakan bahwa wali nikah tidak diperlukan selama orang tua menyetujui pernikahan, tapi tetap menurut peraturan di Indonesia, wali nikah harus hadir dan harus sesuai dengan urutannya. Hal ini mutlak diikuti, karena berkaitan dengan rukun dan syarat sah nikah tersebut. Setelah membaca artikel tentang wali nikah ini, semoga kamu semakin tercerahkan ya!