Baju Bodo, pakaian tradisional wanita Bugis-Makassar, lebih dari sekadar busana indah. Di balik ragam warnanya, ada makna yang mendalam dan mencerminkan nilai-nilai penting dalam budaya Bugis-Makassar. Setiap warna yang dikenakan memiliki pesan tersendiri, mulai dari menunjukkan status sosial hingga usia pemakainya.
Dulu, pemakaian warna Baju Bodo sangat diatur oleh adat. Anak perempuan biasanya mengenakan Baju Bodo berwarna jingga, yang dan ketika beranjak dewasa, warna merah menjadi warna baju bodo mereka, karena mencerminkan kekuatan dan kematangan. Sementara itu, warna hijau biasanya dikenakan oleh wanita dari kalangan bangsawan atau kerajaan, yang melambangkan kemuliaan dan kesejahteraan.
Warna Baju Bodo juga digunakan untuk menandakan momen-momen tertentu dalam hidup. Misalnya, warna putih sering dipakai dalam acara keagamaan atau upacara adat, sementara warna hitam biasanya digunakkan untuk menunjukkan perasaan duka atau kesedihan. Dengan begitu, Baju Bodo bukan hanya sekadar pakaian, tapi juga mencerminkan makna mendalam dalam kehidupan masyarakat Bugis-Makassar. Dalam artikel ini, akan dibahas lebih dalam arti dibalik warna-warna Baju Bodo dan bagaimana pakaian ini menjadi bagian penting dari identitas budaya masyarakat Bugis-Makassar.
Tentang Baju Bodo
Baju Bodo adalah pakaian adat dari Sulawesi Selatan, khususnya milik suku Bugis-Makassar. Pakaian ini merupakan salah satu warisan budaya yang sudah ada sejak lama dan masih dilestarikan hingga kini. Baju Bodo dianggap sebagai salah satu pakaian adat tertua di dunia dan sering digunakan dalam berbagai acara penting, seperti upacara pernikahan atau pertunjukan kesenian tari.
Baju Bodo memiliki bentuk sederhana, berupa baju segi empat dengan lengan pendek yang hanya mencapai bagian atas siku. Nama "bodo" sendiri berarti pendek, sesuai dengan model lengannya. Di masa lalu, baju berbahan kain muslin atau kasa ini dikenakan tanpa dalaman, sehingga bagian dada terlihat dengan jelas tanpa tertutup seperti sekarang. Pakaian ini biasanya dipadukan dengan sarung yang menutupi tubuh bagian bawah.
Cara memakai Baju Bodo, terutama tanpa dalaman yang menampakkan bagian dada ini, masih dipraktikkan hingga sekitar tahun 1930-an. Pada masa itu, Baju Bodo tetap menjadi pakaian adat yang dihormati dan digunakan dalam berbagai acara, seperti upacara adat dan perayaan penting. Namun, seiring dengan perkembangan zaman dan pengaruh budaya luar, terutama setelah Islam semakin kuat di Sulawesi Selatan, aturan berpakaian mulai berubah. Kini, baju adat ini dikenakan dengan dalaman berwarna cerah yang senada dengan baju bodo bagian luarnya. Untuk bagian bawah, tetap dipadukan dengan sarung sutera yang warnanya senada.
Pakaian Baju Bodo biasanya terbuat dari kain sutera dengan hiasan benang emas. Sarungnya memiliki motif kotak-kotak berwarna merah, dan ikat pinggangnya terbuat dari bahan katun dengan motif tulisan Arab. Selain itu, ada juga baju yang terbuat dari bahan serat nanas, yang tipis namun menarik.
Baju Bodo yang kita tau sekarang adalah terbuat dari kain sutera, yang dibuat dengan teknik merajut untuk membentuk blus yang menggelembung pada bagian badan. Proses pembuatannya cukup unik karena bagian atas blus dilubangi untuk membuat kepala penggunanya masuk, yang juga berfungsi sebagai lubang leher. Selain itu, tidak seperti baju lainnya, Baju Bodo tidak memiliki sambungan jahitan pada bagian bahu, yang menambah keunikan dan keindahan pakaian adat Sulawesi Selatan tersebut.
Makna Warna-Warni pada Baju Bodo Berdasarkan Usia
Pembagian warna pada Baju Bodo memiliki dua kategori utama, yaitu penggunaan sehari-hari dan pada acara-acara kebangsawanan, dengan pilihan warna yang beragam sesuai dengan usia pemakainya. Warna-warna ini tidak hanya menunjukkan keindahan dan kekayaan budaya suku Bugis saja, tapi juga membawa makna filosofis yang menggambarkan perjalanan hidup seseorang, khususnya perempuan, di masyarakat Bugis-Makassar. Berikut makna warna-warni Baju Bodo sesuai dengan pengguna dan usianya:
Anak-anak di bawah usia 10 tahun
Untuk anak-anak di bawah usia 10 tahun, Baju Bodo yang dikenakan berwarna kuning gading disebut “Waju Pella-Pella”. Nama "Pella-Pella" memiliki makna "kupu-kupu," yang melambangkan keceriaan dan kebebasan anak-anak dalam menjalani hidup. Warna kuning gading dipilih karena dipercaya sebagai simbol kematangan yang diharapkan akan dicapai oleh anak tersebut seiring pertumbuhannya.
Dalam budaya Bugis, warna ini menyimbolkan kesiapan anak untuk menghadapi berbagai tantangan hidup yang akan datang. Kata "maridi," yang berarti kuning gading, secara harfiah menggambarkan makna "matang," yang menandakan proses perkembangan yang diharapkan anak-anak akan jalani di usianya menuju fase remaja.
Usia 10 hingga 14 tahun
Pada usia ini, anak-anak beralih ke Baju Bodo dengan warna jingga atau merah muda. Warna-warna tersebut dianggap sebagai menjadi warna yang menunjukkan identitas tahap peralihan menuju kedewasaan, dengan jingga dan merah muda yang mendekati warna merah darah, yang menjadi warna khas bagi mereka yang telah menikah.
Di usia ini, seorang gadis mulai mendekati masa remajanya, dan warna yang dipakai mengandung makna simbolis bahwa dia sedang dalam proses menjadi lebih matang, baik secara fisik maupun emosional. Dalam bahasa Bugis, warna merah muda disebut "Bakko," yang berasal dari kata "Bakkaa," yang berarti "setengah matang." Ini mencerminkan bahwa anak-anak dalam kelompok usia ini berada dalam tahap pertumbuhan, di mana mereka belum sepenuhnya dewasa, tapi sudah mulai mengalami perubahan yang mengarah pada kedewasaan.
Usia 14 hingga 17 tahun
Pada tahap ini, gadis remaja masih sering memakai Baju Bodo dengan warna jingga atau merah muda, tapi dengan tambahan lapisan pada baju yang disusun dua tingkat. Penambahan lapisan ini mencerminkan perkembangan fisik mereka, di mana mereka mulai memiliki payudara. Baju berlapis ini juga merupakan simbol bahwa gadis tersebut sudah mulai dewasa dan siap menjalani peran baru dalam kehidupan, seperti pernikahan. Warna jingga atau merah muda pada usia ini juga sering digunakan oleh mereka yang sudah menikah tapi belum memiliki anak, yang melambangkan status transisi mereka sebagai seorang istri tapi belum menjadi ibu.
Usia 17 hingga 25 tahun
Pada usia ini, perempuan mengenakan Baju Bodo dengan warna merah tua yang dilapisi dan disusun dengan lebih tebal. Warna merah tua, yang melambangkan darah, dipilih karena perempuan pada usia ini biasanya sudah menikah dan memiliki anak. Warna merah tua secara filosofis menggambarkan bahwa perempuan tersebut telah melewati fase penting dalam hidupnya, yaitu proses melahirkan, yang diasosiasikan dengan darah dari rahim. Oleh karena itu, warna merah tua ini menjadi simbol kematangan penuh, kedewasaan, dan kesuburan, menandakan bahwa perempuan tersebut telah mengambil peran penting dalam keluarga dan masyarakat.
Usia 25 hingga 40 tahun
Pada rentang usia ini, perempuan mengenakan Baju Bodo berwarna hitam, yang melambangkan kedewasaan, ketegasan, serta tanggung jawab yang lebih besar dalam kehidupan. Warna ini biasanya dikenakan oleh perempuan yang sudah mencapai tahap lebih matang dalam hidupnya, di mana mereka tidak hanya berperan sebagai istri dan ibu, tapi juga sebagai sosok yang dihormati dalam masyarakat.
Hitam mencerminkan sikap dewasa dan kebijaksanaan yang diharapkan dari seseorang yang telah menjalani banyak pengalaman hidup dan dianggap telah memiliki pemahaman mendalam tentang berbagai aspek kehidupan, baik di keluarga maupun di masyarakat.
Setiap warna yang digunakan pada Baju Bodo mencerminkan tahapan-tahapan penting dalam kehidupan seorang perempuan Bugis-Makassar. Dari masa kanak-kanak yang penuh keceriaan hingga kedewasaan yang penuh dengan tanggung jawab sebagai istri dan ibu, warna-warna ini menjadi simbol perjalanan hidup dan status sosial perempuan tersebut dalam masyarakat Bugis-Makassar.
Makna Warna-Warni pada Baju Bodo dalam Acara Kebangsawanan
Selain digunakan dalam kehidupan sehari-hari, Baju Bodo juga memiliki aturan warna khusus yang diterapkan pada acara kebangsawanan, dengan warna-warna tertentu mencerminkan status sosial atau kondisi tertentu dalam masyarakat Bugis. Berikut adalah pembagian warna Baju Bodo yang digunakan oleh kalangan kebangsawanan serta makna filosofis di baliknya:
1. Baju Bodo berwarna putih
Warna putih biasanya dikenakan oleh inang raja, dukun, atau bissu. Dalam kepercayaan tradisional Bugis, bissu adalah sosok yang dianggap mampu menjadi penghubung antara khayangan, dunia nyata, dan dunia roh. Mereka diyakini memiliki darah yang "bersih" dan berwarna putih, yang dianggap suci dan berbeda dari orang biasa. Kepercayaan ini muncul karena dalam tradisi Bugis, air susu ibu kandung permaisuri dianggap tidak pantas untuk diberikan kepada sang bayi, termasuk putra mahkota, karena air susu itu dianggap sebagai bagian dari sesuatu yang keluar bersama darah dan ari-ari saat melahirkan, yang dianggap tidak suci.
Untuk memenuhi kebutuhan nutrisi bayi kerajaan, maka dipilihlah seseorang yang disebut “indo pasusu” atau inang, yang bukan merupakan anggota keluarga secara darah. Dengan demikian, air susu inang dianggap suci dan tidak memiliki hubungan darah langsung dengan putra mahkota, menjadikan posisi inang sangat terhormat. Namun, dalam pandangan modern, status inang tidak lagi setinggi dahulu, bahkan seringkali dianggap seperti budak. Saat ini, Baju Bodo berwarna putih lebih sering digunakan oleh pengantin wanita dalam upacara pernikahan sebagai simbol kesucian.
2. Baju Bodo berwarna hijau
Baju Bodo dengan warna hijau hanya digunakan oleh para bangsawan dan keturunannya, yang dalam bahasa Bugis disebut “maddara takku”, yang artinya "berdarah bangsawan." Warna hijau, atau "kudara" dalam bahasa Bugis, melambangkan keagungan dan harkat kebangsawanan seseorang.
Pemakai Baju Bodo berwarna hijau dianggap sebagai penjaga dan penegak martabat bangsawan, dan hanya putri raja atau keturunan bangsawan yang berhak mengenakan pakaian ini. Warna hijau dalam adat Bugis juga melambangkan keluhuran budi dan status sosial yang tinggi, sehingga dalam konteks modern, Baju Bodo berwarna hijau sering digunakan pada acara pernikahan bangsawan atau keturunan bangsawan, sebagai simbol kedudukan yang terhormat.
3. Baju Bodo berwarna ungu
Warna ungu atau “kemumu” dalam bahasa Bugis diperuntukkan bagi para janda. Warna ini dihubungkan dengan perubahan fisik seorang perempuan yang telah menikah dan menjadi janda. Hal ini juga menjadi metafora bagi fisik janda, yang dalam tradisi dianggap berbeda dari gadis perawan. Istilah "jemmu" yang berarti "telah dipakai" oleh suami terdahulu, berkaitan dengan stigma negatif yang ada pada janda. Dulu, menikah dengan janda dianggap memalukan dalam masyarakat Bugis, dan warna ungu melambangkan stigma sosial yang mereka hadapi.
Sebagai salah satu kekayaan budaya Indonesia, baju Bodo tidak hanya merupakan pakaian tradisional semata, tapi juga sebuah simbol identitas dan komunikasi nilai-nilai adat yang diwariskan dari generasi ke generasi. Melalui warna-warninya yang mencolok, baju ini mampu menceritakan status sosial, usia, hingga peran perempuan Bugis-Makassar dalam kehidupan masyarakat. Oleh karena itu, baju Bodo tak hanya dihargai karena keindahan estetikanya, tapi juga sebagai bentuk penghormatan terhadap kearifan lokal yang kaya dan penuh makna.
Cover | Foto: Kinanty Karina Bridal