Bagi pasangan yang hendak menikah dengan adat Jawa, banyak hal yang harus dipahami selama menjalani tiap prosesinya termasuk memahami makna sinduran. Pasalnya, sinduran sendiri merupakan salah satu bagian tak terpisahkan dari adat Jawa, yang tak kalah penting dari prosesi lainnya dalam upacara panggih. Seperti yang kita tahu, pernikahan adat Jawa begitu sarat akan arti. Begitupun dengan upacara yang satu ini. Sehingga, bukankah lebih baik bila kamu memperdalam pengetahuan dan mengetahui maksud dan tujuannya, agar bisa menjalankannya dengan baik. Termasuk memahami tujuan dan makna sinduran itu sendiri.
Apakah Sinduran Adat Jawa?
Jawabannya, ya! Sinduran adalah adat Jawa dan sinduran merupakan salah satu hal yang tak terpisahkan dari upacara panggih. Hanya saja, sinduran bukanlah hal yang familiar untuk semua macam suku Jawa. Sinduran ini lazimnya hanya dilakukan oleh keluarga-keluarga mempelai yang berasal dari Solo atau Surakarta. Akan tetapi, bisa dibilang bahwa keluarga-keluarga Jawa lainnya di sekitar Jawa Tengah juga memiliki kemungkinan akan melakukan sinduran.
Hanya saja, bila keluarga kamu berasal dari daerah lainnya seperti Jogja, Jawa Timur, atau daerah Pekalongan, biasanya mereka tidak mengenal sinduran, karena sebuah prosesi lainnya dengan makna yang sama akan dilakukan. Jika istilah sinduran dikenal luas di Solo dan Surakarta, maka beda halnya dengan Yogyakarta, dimana istilah kanten asto atau pondhongan lebih umum digunakan. Dalam pelaksanaanya pun terdapat sedikit perbedaan. Berikut perbedaannya:
Sinduran (Solo dan Surakarta): dalam ritual sinduran, kedua pengantin akan berjalan berdampingan menuju pelaminan dengan posisi mempelai wanita berada di sebelah kiri dan mempelai pria di sebelah kanan. Sementara itu sang ayah pengantin wanita membimbingnya dari depan. Kedua mempelai berjalan seraya saling mengaitkan jari kelingking dan memegang keris pusaka yang diselipkan di belakang sang ayah secara bersama-sama. Sementara itu, sang ibu mempelai wanita merangkul dan menyelimuti mempelai pengantin dengan kain sindur tepat di belakang keduanya. Kain inilah yang menjadi ciri khas dalam ritual di Solo atau Surakarta yang juga menjadi asal nama tradisi ini. Kain sindur merupakan sejenis kain ‘rimong’ yang mempunyai ciri berwarna merah dengan tepi berwarna putih. Di barisan belakang, keluarga dari mempelai wanita ikut pula menjadi pengiring.
Kanten asto (Yogyakarta): sedikit berbeda dengan adat Solo, ritual di Yogyakarta tidak memakai kain sindur. Formasi iring-iringan kanten asto sama seperti dalam upacara sinduran (Solo). Jadi, sang ibu mempelai wanita ikut berjalan saja di belakang kedua mempelai dengan diikuti kerabat dari mempelai wanita yang sudah menikah yang disebut juga pengombyong (pengiring).
Pondhongan (Bangsawan Yogyakarta): istilah ini dipakai pada upacara yang dilaksanakan khusus pada pernikahan putri sultan. Sama dengan kanten asto, ritual pondhongan dilakukan setelah upacara wijikan, tetapi pelaksanaanya sedikit berbeda. Apabila pada kanten asto dan sinduran iring-iringan menuju pelaminan dilakukan dengan berjalan, beda halnya dengan upacara pondhongan, dimana putri sultan akan dipondong (digendong) oleh mempelai pria dan salah satu pangeran (paman dari mempelai putri). Selain sebagai bentuk tanggung jawab suami kepada istri, hal tersebut menandakan bahwa mempelai pria menghargai mempelai wanita sebagai putri raja.
Apa, sih, Tujuan Sinduran Itu?
Selain untuk mempertahankan tradisi, ada macam-macam tujuan sinduran yang dikenal orang-orang. Pertama, untuk keluarga Jawa yang berasal dari Solo, upacara sinduran adalah jembatan setelah indak endhog dan bobot timbang, yang keduanya dilaksanakan sebelum dan setelah sinduran. Sementara itu, bila menanyakan mengenai makna sinduran, tentu saja upacara ini dilakukan sebagai sebuah prosesi serah terima secara simbolis, dari orangtua mempelai wanita, ke mempelai pria. Dengan dilakukannya sinduran, secara simbolis orangtua pengantin wanita sudah merelakan anaknya untuk pergi dari rumah dan menjadi bagian dari keluarga lain.
Walau prosesinya bisa cepat atau lama tergantung venue tempat kamu melaksanakannya, bisa dibilang bahwa sinduran merupakan sebuah prosesi yang sangat berarti, terutama bagi orangtua mempelai wanita. Saat kedua orangtua mengapit si pasangan pengantin baru, kamu dan pasangan sejatinya sedang dalam fase sebuah perjalanan sebagai sebuah keluarga baru yang butuh bimbingan dari ayah dan juga dorongan dari ibu.
Bagaimana Filosofi Sinduran yang Harus Kita Tanamkan Selama Acara?
Barangkali kamu belum merasa sangat terikat dengan upacara ini karena merasa asing dengannya. Bisa jadi, kamu tidak familiar dengan budaya Jawa, sehingga belum tahu seberapa pentingnya upacara sinduran. Padahal, banyak filosofi sinduran yang bisa kamu petik sebagai usaha kamu untuk meraih kehidupan pernikahan yang lancar dan minim halangan. Semua unsur dalam upacara sinduran memiliki filosofinya sendiri, yang menarik untuk didalami.
Pertama, dari posisi kamu dan pasangan saat melaksanakan prosesi ini. Dalam prosesi sinduran, kamu akan berjalan ke pelaminan (atau krobongan, dalam versi yang lebih tradisional) dengan diapit oleh orangtuamu. Ayah dari mempelai wanita akan berjalan di depan, sementara ibu dari mempelai wanita akan berjalan di belakang pasangan pengantin baru. Keberadaan ayah di depan melambangkan bahwa dia akan membimbing pasangan baru ini dalam kehidupan mereka selanjutnya, di mana kehidupan baru ini disimbolkan dengan perpindahan pasangan dari titik semula ke pelaminan. Sementara itu, ibu pengantin wanita yang berjalan di belakang memiliki arti bahwa tak peduli masalah apa saja yang akan dihadapi pasangan pengantin baru ini, mereka akan selalu mendapatkan dukungan dari ibu.
Tidak hanya itu, kain sindur yang memiliki warna merah dengan aksen putih di sekelilingnya, juga melambangkan kehidupan. Merah adalah warna untuk si pengantin wanita, sementara putih melambangkan pengantin pria. Dari sana, kita bisa memetik makna sinduran bahwa seorang pria akan melindungi istrinya dan filosofi sinduran inilah yang selalu mengungkung kamu dalam perjalananmu menuju pelaminan.
Bagaimana dengan Filosofi Bobot Timbang yang Terjadi Setelahnya?
Biasanya, sinduran ini dilaksanakan sebagai sebuah rangkaian dari acara pernikahan adat Jawa yang cukup panjang. Namun, sinduran berhubungan dengan upacara indak endhog yang dilaksanakan sebelumnya, kemudian bobot timbang yang dilaksanakan setelah kedua mempelai sampai ke pelaminan dengan kedua orangtuanya. Setelah sinduran, tidakkah kamu penasaran dengan bobot timbang? Apakah makna sinduran dan bobot timbang sama?
Tentu saja, tidak! Bobot timbang bisa dikatakan unik dan sedikit membuat malu, karena di acara itu, kedua mempelai akan dipangku oleh ayah pengantin wanita, kemudian ibu pengantin wanita akan bertanya pada beliau dalam Bahasa Jawa, manakah yang lebih berat di antara kedua pengantin ini? Yah, tentunya, ini adalah sebuah pertanyaan retoris karena kita sendiri tahu bahwa hampir mustahil menemukan sepasang pengantin yang bobotnya sama.
Namun, ayah dari mempelai wanita akan mengangguk dan menjawab dengan sebuah jawaban standar, bahwa bobot keduanya sama. Hal ini bukan lagi melambangkan bimbingan seorang ayah kepada kedua anaknya, tapi lebih menunjukkan bahwa kasih sayang yang kelak akan dia berikan pada keduanya setara. Setelah menjadi sebuah keluarga baru saat mereka sampai ke pelaminan, ayah mempelai wanita akan menganggap bahwa baik mempelai pria atau wanita adalah kedua anaknya, sehingga dia tidak akan membeda-bedakan.
Dalam hal ini, terlihat jelas bahwasanya saat sinduran, status kedua orangtua mempelai wanita masih mertua bagi mempelai pria, sementara saat bobot timbang, kedua orangtua sudah menerima si menantu lelaki ke keluarga mereka. Selain itu, saat makna sinduran adalah dukungan bagi keluarga baru tersebut untuk menjalani rumah tangga, bobot timbang memiliki makna bahwa kasih sayang yang didapatkan keduanya tetaplah sama.
Pada akhirnya, makna sinduran begitu luas, walau prosesinya hanya dilakukan dalam waktu kurang dari satu jam dan merupakan satu bagian dari rangkaian prosesi pernikahan adat Jawa yang panjang. Namun, bagi seseorang yang kurang familiar dengan budaya Jawa, tentunya hal ini bisa cukup menantang dan mengkhawatirkan. Hanya saja, semua kekhawatiran ini bisa kamu enyahkan, kalau kamu tahu cara untuk menyiasati semua ketakutanmu!
Tentunya, bila kamu merasa tidak siap untuk menghadapi semua kerumitan khas pernikahan adat Jawa, kamu bisa mencari vendor yang bisa membantumu untuk menyiapkan segala keperluan dalam pernikahan adat Jawa. Mulai dari event organizer, fotografer, videografer, bahkan sampai pembawa acara, semua ada di WeddingMarket. Bahkan, walau kamu tidak tinggal di kota besar, kami selalu punya vendor yang berada dekat denganmu. Kamu akan lebih merasa terbantu, bukan, jika memiliki seorang profesional di dekatmu yang mudah untuk dikontak, demi mempersiapkan pernikahanmu? Karena itu, jangan takut dan laksanakan pernikahan terbaikmu!
Fotografi: Arams Pictures | via instagram/ikafreeztya