Your Smart Wedding Platform

Cara Menyelesaikan Masalah Pernikahan Berdasarkan 4 Attachment Style, Yuk Cek!

18 Jul 2025 | By Nurma Arum Wedding Market | 28

Memahami pasangan adalah sebuah hal yang sangat penting dalam menjaga hubungan pernikahan agar bisa berkomunikasi dengan tepat dan menyelesaikan masalah dengan baik. Salah satu hal yang harus diketahui mengenai pasangan adalah attachment style atau keterikatan. Ada sebuah teori khusus yang membahas mengenai hal ini. 

Teori attachment atau teori keterikatan berasal dari John Bowlby, seorang psikiater Inggris yang menyatakan bahwa hubungan emosional antara anak dan pengasuh utamanya adalah kebutuhan biologis dasar untuk merasa aman. Teori attachment ini kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh Mary Ainsworth dengan eksperimen “Strange Situation” yang menghasilkan klasifikasi attachment style yang terdiri dari secure (aman), anxious (cemas), avoidant (menghindar), dan kemudian ditambah fearful avoidant (takut-menghindar) oleh peneliti selanjutnya. 

Teori ini menjelaskan bahwa pola keterikatan yang terbentuk sejak kecil akan memengaruhi cara seseorang membangun hubungan di masa dewasa, termasuk dalam pernikahan. Mengetahui akan hal ini juga akan membantumu menemukan cara yang tepat dalam menyelesaikan masalah. Berikut ini adalah cara yang paling cocok untuk setiap attachment style. Simak yuk penjelasan selengkapnya.

1. Secure attachment

Foto: Pexels/Vlada Karpovich

Pasangan dengan gaya keterikatan secure atau aman umumnya memiliki hubungan yang stabil dan sehat karena mereka nyaman dengan keintiman, mampu mengungkapkan perasaan secara terbuka, dan mudah mempercayai pasangan. Namun, tantangan bisa muncul jika mereka menikah dengan pasangan yang memiliki gaya keterikatan tidak aman, seperti anxious (cemas) atau avoidant (menghindar).  Dalam situasi seperti ini, seseorang dengan secure attachment bisa saja merasa frustrasi karena pasangan mereka tampak terlalu membutuhkan atau justru menarik diri secara emosional. 

Untuk mengatasi masalah ini, penting bagi seseorang dengan secure attachment untuk tetap konsisten dan sabar dalam memberikan dukungan emosional. Mereka bisa menggunakan kekuatan mereka dalam komunikasi yang terbuka dan empatik untuk menciptakan ruang aman bagi pasangannya.

Kemampuan untuk menghindari judging, menjaga nada suara tetap tenang, dan menunjukkan bahwa mereka hadir secara emosional dapat membantu pasangan yang insecure merasa lebih tenang dan diterima. Dengan menjadi "sosok pendengar yang aman", mereka dapat perlahan membantu pasangannya membangun kepercayaan dan merespons konflik dengan lebih dewasa dan sehat.

2. Anxious attachment

Foto: Pexels/Timur Weber

Orang dengan gaya keterikatan ini cenderung sangat membutuhkan kepastian dan validasi dalam hubungan. Mereka takut ditinggalkan, merasa kurang dicintai, dan sering overthinking ketika pasangan tidak merespons pesan atau perhatian dengan cepat. Dalam pernikahan, hal ini bisa menimbulkan konflik karena mereka mungkin terlihat terlalu bergantung, mudah curiga, dan reaktif terhadap hal-hal kecil. 

Untuk mengatasi masalah ini, langkah pertama adalah membangun kesadaran diri bahwa kecemasan tersebut berasal dari pola masa lalu, bukan karena pasangan tidak mencintai. Latihan menenangkan diri secara mandiri sangat penting dilakukan, misalnya dengan meditasi, menulis jurnal, atau terapi untuk memahami akar kecemasan dan belajar mengelolanya. 

Selain itu, penting juga mengubah cara menyampaikan kebutuhan. Daripada menuntut atau menyindir, lebih baik menggunakan pernyataan yang jujur dan tenang, seperti, "Aku merasa cemas saat kamu tidak merespons, aku butuh kepastian bahwa semuanya baik-baik saja." Jika pasangan memahami hal ini, mereka bisa memberikan reassurance secara konsisten tanpa merasa dikekang. Di sisi lain, si cemas juga perlu belajar mempercayai pasangan berdasarkan pengalaman nyata, bukan asumsi ketakutan. Semakin mereka bisa menciptakan rasa aman dalam diri sendiri, semakin sehat pula hubungan pernikahan mereka.

3. Avoidant attachment 

Foto: Pexels/Timur Weber

Pasangan dengan gaya keterikatan menghindar cenderung menjaga jarak emosional, merasa tidak nyaman dengan keintiman berlebihan, dan sering kali menolak untuk terlalu bergantung pada orang lain, termasuk pasangan. Dalam pernikahan, mereka mungkin akan tampak dingin, tidak responsif terhadap kebutuhan emosional pasangan, atau bahkan menarik diri saat konflik muncul. Masalah ini biasanya membuat pasangan merasa ditolak atau diabaikan padahal sebenarnya seseorang yang memiliki keterikatan avoidant bukan tidak peduli, tetapi memiliki mekanisme pertahanan yang terbentuk seperti dinding untuk menghindari hal tidak menyenangkan. 

Untuk mengatasi hal ini, langkah awal yang penting adalah menyadari bahwa menghindari konflik atau emosi bukanlah cara yang sehat dalam hubungan jangka panjang. Mereka perlu perlahan-lahan belajar membuka diri dan menghadapi ketidaknyamanan saat terjadi sebuah konflik. 

Proses ini bisa dimulai dengan belajar mengenali dan menyebutkan perasaan sendiri tanpa merasa lemah. Selain itu, membangun rutinitas komunikasi kecil yang konsisten juga dapat membantu, seperti menyapa pasangan dengan penuh perhatian setiap hari atau meluangkan waktu untuk berbicara dari hati ke hati meski hanya 10 menit.

Penting juga untuk memahami bahwa menunjukkan kebutuhan atau memberi perhatian bukan tanda kelemahan, tetapi tanda komitmen dan cara untuk mempertahankan pernikahan. Jika pasangan bisa memberikan ruang dengan empati dan tidak terlalu menuntut, si avoidant juga akan merasa lebih nyaman untuk terbuka seiring waktu.

4. Fearful avoidant attachment

Foto: Pexels/Timur Weber

Gaya keterikatan yang satu ini merupakan gabungan antara anxious dan avoidant, di mana seseorang merasa sangat ingin dekat dengan pasangan, tetapi di saat yang sama takut terluka sehingga mereka sering kali menarik diri atau bersikap kontradiktif. Mereka mungkin terlihat membutuhkan, lalu tiba-tiba menjauh atau bahkan menyerang secara emosional saat merasa terlalu dekat. 

Dalam pernikahan, hal ini menciptakan dinamika yang membingungkan dan melelahkan baik bagi diri sendiri maupun pasangan. Untuk mengatasi masalah ini, dibutuhkan pendekatan yang lebih kompleks dan mendalam, karena gaya ini biasanya terbentuk dari trauma atau pengalaman masa kecil yang berat. 

Langkah pertama adalah membangun kesadaran tentang siklus tarik ulur yang sering terjadi. Orang dengan fearful avoidant perlu belajar mengenali pemicu emosi mereka, seperti apa yang membuat mereka merasa terlalu dekat atau terlalu jauh. Terapi pasangan atau terapi individu sangat disarankan dalam kasus ini untuk membantu mengurai trauma dan menciptakan cara berpikir yang lebih baik. Dalam kehidupan sehari-hari, mereka bisa mencoba latihan kecil tentang keintiman emosional yang konsisten, seperti berbagi perasaan tanpa adanya ekspektasi tertentu, atau mendengarkan pasangan tanpa ada sikap defensif. 

Pasangan juga perlu diajak bekerja sama dalam menciptakan ruang yang aman tapi tidak mengancam, misalnya dengan memberi waktu saat pasangan menarik diri, tetapi tetap menunjukkan bahwa mereka tidak akan ditinggalkan. Kombinasi kesabaran, konsistensi, dan bantuan profesional sangat penting untuk membangun stabilitas dalam pernikahan dengan gaya keterikatan ini.

Setiap hubungan memiliki masalahnya masing-masing. Namun, kamu dan pasangan tetap akan bisa menyelesaikannya dengan baik apabila memahami attachment style dengan baik. Dengan begitu, kalian akan menemukan mana cara yang paling cocok untuk menyelesaikannya. Untuk tips pernikahan lainnya, jangan lupa untuk mengecek artikel-artikel tips pernikahan di WeddingMarket.


Cover | Fotografi: Pexels/Ron Lach


Artikel Terkait



Artikel Terbaru