Apakah kamu pernah menonton drama Korea dengan judul Because This is My First Life? Drama ini menceritakan tentang dua orang yang tidak saling cinta memutuskan untuk menikah demi kepentingan hidup yang lebih hemat dengan tinggal bersama. Premis ini mungkin terdengar tidak masuk akal jika diterapkan di dunia nyata. Namun, ternyata pernikahan semacam ini terjadi dan bahkan menjadi tren di Jepang, lo. Namanya adalah tren friendship marriage.
Tren pernikahan seperti apakah friendship marriage? Kenapa tren ini populer di Jepang? Apakah ada kemungkinan tren ini juga akan populer di Indonesia? Berikut ini penjelasan lengkap tentang fenomena yang satu ini untuk menjawab rasa penasaranmu. Simak sampai akhir, yuk!
Apa itu friendship marriage?
Dari data yang dirilis oleh Menteri Kesehatan Jepang, tahun 2023 menjadi tahun di mana angka kelahiran di Jepang paling rendah selama 8 tahun. Pada tahun ini, ada 727.277 bayi yang lahir yang mana turun sebanyak 5,6% dari tahun sebelumnya. Sementara itu, angka pernikahan juga turun sebanyak 6% menjadi 474.717 di tahun yang sama.
Bersamaan dengan tren penurunan angka pernikahan dan kelahiran anak tersebut, anak muda di Jepang malah banyak melakukan tren pernikahan baru, yaitu friendship marriage. Friendship marriage adalah hubungan pernikahan antara dua orang yang bertujuan untuk tinggal bersama. Keduanya harus memiliki nilai dan ketertarikan yang serupa. Meskipun memiliki embel-embel ‘friendship’, pernikahan ini tidak ada kaitannya dengan menikahi sahabat, bahkan pernikahan ini tidak didasarkan rasa cinta oleh kedua pengantin yang terlibat di dalamnya.
Pasangan ini akan menikah secara legal, tapi tidak memiliki ketertarikan romantis atau fisik. Mereka akan tinggal bersama, membagi tanggung jawab, beban finansial, hingga berbagi ruangan. Sebelum melaksanakan pernikahan, keduanya akan mengobrol selama berjam-jam hingga berhari-hari untuk membahas detail mengenai kehidupan mereka setelah menikah. Uniknya, walaupun tidak ada ketertarikan fisik maupun romantis, pasangan tetap bisa memiliki anak dengan melakukan inseminasi artifisial jika keduanya menginginkannya. Masing-masing juga bisa memiliki hubungan romantis dengan seseorang di luar pernikahan tergantung kesepakatan.
Orang-orang yang melakukan friendship marriage
Setelah mendengarkan penjelasan tersebut, kamu mungkin kembali berpikir bahwa fenomena ini semakin terdengar tidak masuk akal. Namun, nyatanya dilansir dari South China Morning Post, sekitar 1% dari 124 juta warga menjadi kandidat yang berpotensi untuk melakukan tren ini. Satu-satunya agensi di Jepang yang memiliki spesialisasi pada friendship marriage mengatakan bahwa ada 500 pasangan sejak tahun 2015 yang membentuk keluarga dengan cara ini. Beberapa bahkan juga memiliki anak.
Rata-rata orang yang melakukan friendship marriage berada di usia 32,5 tahun di mana 85% di antaranya memiliki pendidikan sarjana atau lebih tinggi. Pernikahan ini dilakukan oleh mereka yang tidak menyukai konsep pernikahan tradisional, tapi merasa hilang arah atau sekadar ingin mendapatkan benefit yang tersedia.
Alasan orang melakukan friendship marriage
Ternyata ada beberapa pertimbangan orang akhirnya melakukan friendship marriage. Berikut ini beberapa alasan yang mungkin dipikirkan beberapa pasangan yang melakukan tren ini.
Tekanan sosial
Walaupun terkenal sebagai salah satu negara yang memiliki tingkat individualisme yang tinggi dan sangat privat, ternyata anak muda di Jepang yang belum menikah juga akan menerima tekanan sosial yang lama-lama akan terasa mengganggu. Tak heran jika banyak yang melakukan tren friendship marriage sebagai upaya untuk menghindari tekanan tersebut dan bisa lebih fokus ke hal lain, seperti pekerjaan.
Benefit dari pemerintah
Seperti yang mungkin sering kamu dengar, pemerintah Jepang akan memberikan beberapa benefit berupa tunjangan untuk para anak muda yang memutuskan untuk menikah atau memiliki anak. Hal ini tentu menjadi salah satu benefit yang menarik dan bisa didapatkan dengan pernikahan walaupun dengan orang yang tidak dicintai.
Keamanan finansial
Selain mendapatkan tunjangan dari pemerintah, beban finansial pada friendship marriage juga bisa dibagi berdua. Misalnya, biaya tempat tinggal yang bisa ditanggung bersama, biaya listrik, hingga makanan sehari-hari. Dibanding menanggungnya sendiri, biaya yang dibagi dua akan menjadi semakin ringan.
Lebih fleksibel dan bebas
Friendship marriage dilakukan atas dasar berbagai kesepakatan yang sudah disetujui bersama sebelumnya. Oleh sebab itu, ada fleksibilitas yang bisa dicapai dalam pembagian peran dan tanggung jawab karena keduanya lebih terbuka untuk berdiskusi dengan lebih logis tanpa melibatkan perasaan romantis.
Mengatasi kesepian
Tak bisa dimungkiri seiring berjalannya waktu, orang-orang akan memiliki kesibukannya sendiri sehingga akan sulit untuk bertemu secara rutin. Hal ini menyebabkan beberapa orang merasa semakin kesepian karena sulit berjumpa dengan orang lain. Melakukan friendship marriage dan tinggal bersama dengan orang lain akan membantu seseorang dalam mengatasi kesepian. Pasangan juga bisa menjadi seorang teman yang akan memberikan dukungan emosional jika diperlukan.
Tantangan friendship marriage
Meskipun ada begitu banyak benefit yang bisa didapatkan, friendship marriage juga memiliki berbagai tantangan yang harus dihadapi. Jika terbesit sedikit saja keinginan untuk melakukannya, coba pertimbangkan dulu beberapa hal ini.
Kekosongan emosional
Walaupun keduanya mungkin merasa bisa mendukung satu sama lain dan tidak merasa kesepian karena ada teman serumah, kadang kala keberadaan fisik ini tidak mampu memenuhi kekosongan emosional yang mungkin timbul. Rasa sayang dan cinta yang biasanya akan membuat hubungan lebih kuat tidak ada sehingga semua keputusan dibuat harus dengan alasan yang logis.
Jika salah satu baper
Seseorang mungkin bisa dekat dengan orang lain atau bahkan tinggal bersama dalam waktu yang lama tanpa memiliki perasaan sama sekali. Namun, bagi yang lain, munculnya perasaan sayang bisa jadi sulit untuk dihindari. Jika perasaan yang timbul hanya dirasakan oleh salah satu pihak, hubungan akan menjadi canggung padahal kalian berdua akan bertemu setiap hari dalam jangka yang lama.
Tekanan keluarga dan stigma sosial
Memutuskan untuk menikah secara transaksional akan memengaruhi banyak hal dan keputusan. Walaupun mungkin hanya kamu dan pasangan yang mengetahui kesepakatan ini, bukan berarti kalian bisa menghindari tekanan sosial yang akan muncul. Pertanyaan-pertanyaan seperti kapan kalian akan memiliki anak menjadi salah satu hal yang mungkin sulit untuk dijelaskan. Memutuskan memiliki anak karena tekanan sosial pun juga akan semakin sulit. Melakukan inseminasi artifisial, mengadopsi, atau membesarkannya akan menjadi tantangan baru yang lainnya.
Keputusan hidup
Kalian mungkin sudah menghabiskan waktu selama berhari-hari hingga berbulan-bulan untuk membagi tugas dan menemukan kesepakatan mengenai banyak hal. Namun, akan ada banyak hal yang tak terduga mungkin terjadi di masa depan yang membuat kalian harus membuat keputusan-keputusan besar. Misalnya, jika salah satu harus pindah ke luar daerah atau keluar negeri. Jika hubungan didasari rasa cinta, seseorang mungkin akan rela melepas banyak hal dan ikut pindah pasangan. Namun, dengan alasan transaksional yang dimiliki, hal ini jadi lebih sulit untuk dilakukan.
Kesehatan mental
Kamu dan pasangan mungkin bisa menghindari tekanan sosial. Namun, jika kamu tidak benar-benar yakin untuk melakukannya dan ternyata rumah tangga yang dibangun tidak sesuai dengan ekspektasi, kamu akan sering menyalahkan diri sendiri. Jika hal ini terjadi dalam jangka panjang, bukan tak mungkin kamu akan merasa semakin cemas dan mengalami gangguan mental.
Friendship marriage merupakan sebuah konsep pernikahan yang dilakukan oleh mereka yang ingin hidup bersama tanpa ada ikatan cinta. Meskipun banyak keuntungannya, banyak hal yang harus dipertimbangkan apabila seseorang ingin mempraktikkan hal yang satu ini karena bagaimanapun pernikahan merupakan sebuah lembaga suci yang sebaiknya bukan hanya dilakukan secara transaksional, tapi juga untuk menyatukan dua hati.
Sumber Referensi: The Diplomat | SCMP | Detik