Your Smart Wedding Platform

Jenis-jenis Mahar yang Dilarang dalam Islam. Kamu Sudah Tau?

30 Aug 2024 | By Intan Vandini Wedding Market | 114
Fotografi oleh Morden

Mahar adalah salah satu syarat penting dalam pernikahan yang diatur oleh syariat Islam. Dalam Islam, mahar bukan hanya sekadar hadiah atau simbol cinta, tapi juga merupakan hak istri yang diberikan oleh suami sebagai bagian dari komitmen pernikahan. Namun, tidak semua bentuk mahar diperbolehkan, karena ada beberapa jenis mahar yang dilarang dalam Islam, karena tidak sesuai dengan prinsip yang diajarkan dalam agama.

Mahar yang dilarang dalam Islam biasanya berkaitan dengan hal-hal yang mengandung ketidakpastian, ketidakadilan, atau melibatkan hal yang haram. Misalnya, mahar yang tidak jelas nilainya atau terlalu berlebihan hingga membebani pihak suami, juga mahar yang melibatkan barang-barang yang haram seperti minuman keras atau benda-benda yang bertentangan dengan nilai-nilai Islam juga tidak diperbolehkan.

Penting bagi pasangan yang akan menikah untuk memahami jenis-jenis mahar yang sesuai dengan syariat Islam. Dengan memahami larangan-larangan ini, diharapkan kamu dan pasangan bisa memulai kehidupan pernikahan mereka dengan cara yang diridhai oleh Allah dan terhindar dari perbuatan yang bisa membawa dampak negatif dalam kehidupan rumah tangga. 

Apa itu Mahar dalam Pernikahan?


Mahar, dalam pengertian etimologi, berarti maskawin, yang merujuk pada hadiah atau pemberian yang diberikan oleh calon suami kepada calon istri. Dalam konteks terminologi, mahar diartikan sebagai "pemberian yang wajib" yang diberikan oleh calon suami kepada calon istri sebagai wujud ketulusan hati dari calon suami. Tujuan dari pemberian ini adalah untuk menumbuhkan rasa cinta dan kasih sayang dalam hati istri terhadap suaminya.

Secara umum, mahar merupakan suatu pemberian yang wajib diserahkan oleh suami kepada istrinya pada saat akad nikah atau karena adanya akad tersebut. Mahar juga bisa diartikan sebagai sesuatu yang diberikan oleh calon suami kepada calon istri dalam konteks akad perkawinan antara keduanya. Pemberian ini melambangkan rasa cinta dari calon suami kepada calon istri dan juga kesediaan calon istri untuk menerima suaminya sebagai pasangan hidup. Mahar bukan hanya sekadar simbol, tapi juga merupakan bentuk penghormatan dan penghargaan terhadap calon istri serta komitmen yang diambil oleh calon suami dalam pernikahan tersebut.

Dalam pandangan Mazhab Syafi'i, mahar didefinisikan sebagai sesuatu yang menjadi kewajiban karena adanya pernikahan atau persetubuhan, atau ketika kehormatan seorang perempuan dilanggar tanpa kehendaknya, misalnya akibat persusuan atau mundurnya para saksi. Dalam Alquran sendiri, ketentuan pemberian mahar diatur dalam surat An-Nisa ayat 4, yang artinya: “Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan”

Ayat ini menegaskan kewajiban bagi seorang Muslim untuk memberikan mahar kepada wanita yang akan dinikahinya. Mahar ini merupakan suatu pemberian yang wajib dan harus dipenuhi sebagai bagian dari proses akad nikah. Dengan memberikan mahar, seorang suami menunjukkan kesungguhannya dalam membina rumah tangga serta menghormati hak-hak istri yang akan dipersuntingnya. Ayat ini menegaskan bahwa mahar adalah bagian penting dari pernikahan yang sah dan harus dilaksanakan dengan penuh kesadaran serta niat yang baik.

Syarat-Syarat Mahar


Mahar yang diberikan kepada calon istri harus memenuhi beberapa syarat tertentu agar sah menurut hukum Islam. Syarat-syarat ini memastikan bahwa mahar yang diberikan sesuai dengan nilai-nilai dan ketentuan syariat, serta dapat diterima dengan baik oleh calon istri. Berikut adalah syarat-syarat tersebut:

1. Harta atau Benda yang Berharga

Mahar harus terdiri dari sesuatu yang memiliki nilai dan dianggap berharga. Dalam hal ini, tidak ada ketentuan pasti mengenai jumlah atau nilai mahar, sehingga bisa dalam bentuk apapun selama memiliki nilai yang diakui dalam masyarakat. Barang yang dijadikan mahar bisa beragam, mulai dari sesuatu yang sederhana hingga yang bernilai tinggi, selama itu berharga. Bahkan jika mahar tersebut sedikit jumlahnya namun memiliki nilai, mahar tersebut tetap sah menurut hukum Islam. Yang terpenting adalah adanya pengakuan bahwa barang tersebut memiliki nilai dan diberikan dengan niat yang baik.

2. Barang yang Suci dan Dapat Dimanfaatkan

Mahar harus terdiri dari barang yang suci dan bisa dimanfaatkan oleh penerimanya. Mahar harus berupa sesuatu yang halal dan bermanfaat, sehingga istri bisa memanfaatkannya dengan baik tanpa melanggar ketentuan agama. Hal ini menegaskan bahwa mahar tidak hanya sekadar pemberian materi, tapi juga harus sesuai dengan prinsip-prinsip kesucian dan kehalalan dalam Islam.

3. Barang yang Bukan Hasil Ghasab

Mahar harus terdiri dari barang yang diperoleh secara halal dan bukan hasil ghasab. Ghasab sendiri adalah tindakan mengambil barang milik orang lain tanpa izin, meskipun tanpa niat untuk memilikinya secara permanen dan dengan rencana untuk mengembalikannya. Jika mahar diberikan berupa barang yang merupakan hasil ghasab, maka mahar tersebut tidak sah menurut hukum Islam. Namun, meskipun mahar yang diberikan tidak sah, akad nikah itu sendiri tetap sah dan berlaku. Prinsip ini menekankan pentingnya memastikan bahwa barang yang dijadikan mahar diperoleh dengan cara yang benar dan halal, sesuai dengan nilai-nilai keadilan dan kejujuran dalam Islam.

4. Barang yang Jelas Keadaannya

Mahar harus berupa barang yang memiliki kejelasan dalam hal keadaan dan jenisnya. Artinya, barang yang diberikan sebagai mahar harus jelas dalam hal bentuk, kualitas, jumlah, atau spesifikasi lainnya. Memberikan mahar yang tidak jelas atau tidak disebutkan secara rinci jenis dan keadaannya dianggap tidak sah menurut hukum Islam. Ketidakjelasan ini bisa menyebabkan kebingungan, perselisihan, dan ketidakpastian antara suami dan istri, yang berpotensi menimbulkan masalah dalam pernikahan di kemudian hari. 

Jenis Mahar yang Dilarang dalam Islam


Untuk memahami lebih dalam tentang konsep mahar dalam hukum Islam, penting bagi pasangan calon pengantin untuk memahami jenis-jenis mahar yang dilarang, karena mahar sendiri merupakan bagian penting dari akad nikah yang diatur secara jelas dalam syariat Islam. Meski hukum Islam memberikan kebebasan dalam menentukan jenis dan jumlah mahar, ada beberapa ketentuan penting yang harus dipatuhi. Berikut jenis-jenis mahar yang dilarang digunakan dalam perkawinan agama Islam:

1. Jumlah Mahar yang Memberatkan

Dalam ajaran Islam, mahar yang memberatkan tidak diperbolehkan. Pernikahan yang melibatkan mahar yang tidak memberatkan justru dikatakan bisa membawa berkah dalam kehidupan rumah tangga. Hal ini sesuai dengan sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari Aisyah, sabda Rasulullah sallallahu ‘alaihi wasallam: "Sesungguhnya pernikahan yang paling banyak berkahnya adalah yang paling sedikit biayanya." 

Hadits ini menekankan bahwa pernikahan dengan mahar yang wajar dan tidak memberatkan tidak hanya sesuai dengan prinsip-prinsip Islam, tapi juga cenderung membawa keberkahan dan kebahagiaan dalam rumah tangga. Hal ini menggarisbawahi pentingnya menjaga kesederhanaan dalam menentukan mahar agar pernikahan dapat berjalan lancar dan diberkahi.

2. Mahar yang Berlebihan

Islam menganjurkan agar perempuan tidak meminta mahar yang terlalu tinggi. Hal ini berkaitan dengan kemungkinan adanya risiko bagi kedua calon mempelai, dimana mahar yang terlalu besar bisa menjadi hambatan dalam proses pernikahan, dan jika masalah ini tidak diselesaikan, hal itu bisa mengancam kelangsungan pernikahan.

Jika kedua belah pihak sudah sepakat untuk menikah tapi terhambat oleh jumlah mahar yang dianggap terlalu tinggi, hal ini bisa berpotensi merusak rencana pernikahan dan bahkan memicu hubungan di luar pernikahan. Oleh karena itu, penting bagi calon mempelai untuk menetapkan mahar dengan bijaksana, dengan mempertimbangkan kemampuan finansial dan situasi masing-masing pihak, supaya pernikahan bisa berlangsung dengan lancar tanpa mengabaikan prinsip-prinsip Islam.

3. Mahar yang Tidak Bernilai

Mahar pernikahan yang tidak memiliki nilai atau dianggap tidak bernilai tidak diperbolehkan dalam Islam. Penting bagi mahar untuk memiliki nilai yang nyata agar sesuai dengan prinsip-prinsip syariat. Islam memberikan kemudahan kepada calon suami yang mungkin tidak mampu untuk memberikan mahar dalam jumlah yang tinggi, sesuai dengan permintaan calon istri. Dalam kasus seperti ini, calon suami bisa membayar mahar secara dicicil atau melunasi secara bertahap.

Mahar yang dianggap sah dan diperbolehkan adalah yang memiliki nilai, seperti emas, seperangkat alat sholat, atau barang-barang lain yang bermanfaat bagi calon pengantin wanita. Contoh lain dari mahar yang sah termasuk hafalan Alquran atau barang-barang berharga lainnya yang memberikan manfaat dan nilai bagi calon istri.

4. Mahar Titipan untuk Ayah Pihak Perempuan

Jika seorang lelaki menikahi seorang perempuan dan mempersyaratkan adanya pemberian khusus untuk ayah mempelai perempuan sebagai bagian dari mahar, maka ini tidak diperbolehkan dalam Islam. Mahar seharusnya merupakan hak dari calon istri, dan tidak boleh disertai dengan syarat yang memberikan keuntungan langsung kepada pihak ketiga, contohnya ayah mempelai perempuan.

Pemberian untuk ayah mempelai perempuan sebagai syarat mahar mirip dengan konsep dalam jual beli di mana penjual mempersyaratkan adanya pemberian untuk dirinya sendiri. Dalam hal ini, pernikahan dengan persyaratan seperti itu dianggap tidak sah, karena mahar harus diberikan langsung kepada calon istri sebagai bentuk penghormatan dan tanggung jawab suami, bukan sebagai bentuk pembayaran atau titipan untuk pihak ketiga.


5. Mahar Bercampur dengan Jual Beli

Mahar yang bercampur dengan jual beli mengacu pada situasi di mana mahar tidak sepenuhnya murni sebagai pemberian untuk istri, melainkan juga mencakup transaksi jual beli. Contohnya, jika seorang istri menyerahkan budak lelaki kepada suaminya, dan suami membayar mahar sebesar seribu dirham, tetapi di dalam jumlah tersebut juga termasuk harga untuk membeli budak tersebut, maka mahar tersebut dianggap bercampur dengan jual beli.

Dalam kasus ini, mahar yang sah seharusnya merupakan pemberian murni dari suami kepada istri sebagai simbol penghargaan dan tanggung jawab dalam pernikahan. Mahar tidak boleh dikaitkan dengan transaksi jual beli atau pembayaran untuk barang lain, seperti harga budak, karena hal ini mengaburkan fungsi dan tujuan dari mahar itu sendiri.

Mahar harus berupa sesuatu yang diberikan secara khusus dan eksklusif untuk istri, tanpa mengaitkannya dengan transaksi jual beli atau pembayaran barang lainnya. Hal ini menjaga agar mahar tetap sesuai dengan ketentuan syariat Islam, yang menekankan bahwa mahar adalah hak penuh istri dan bukan bagian dari transaksi komersial.

6. Mahar yang Haram

Memberikan mahar yang haram, baik dari segi zat maupun cara memperolehnya, dilarang dalam Islam. Jika mahar yang diberikan berupa barang yang haram, seperti khamr (minuman keras) atau barang haram lainnya, dan istri belum menerima mahar tersebut, maka istri berhak untuk menerima mahar yang sesuai dan halal.

Jika salah satu dari pasangan masuk Islam setelah menerima mahar yang haram, maka istri berhak menerima setengah dari nilai mahar yang wajar. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun mahar yang diberikan tidak sah, ada kompensasi yang harus diberikan agar sesuai dengan prinsip-prinsip Islam.

Namun, jika perempuan telah menerima mahar yang haram saat kedua pasangan dalam keadaan musyrik (belum memeluk Islam), maka mahar tersebut dianggap telah diterima dan tidak ada hak untuk meminta tambahan mahar selain yang telah diberikan. Dalam hal ini, mahar yang haram dianggap telah berlalu dan tidak ada kewajiban untuk memperbaiki atau menggantinya setelah pasangan tersebut memeluk Islam. Ini menegaskan pentingnya memastikan bahwa mahar yang diberikan adalah halal dan sesuai dengan ketentuan syariat agar pernikahan sah dan diberkahi.

Dalam memahami jenis-jenis mahar yang dilarang dalam Islam, penting untuk menyadari bahwa tujuan utama dari mahar adalah untuk melindungi hak-hak dan martabat wanita dalam pernikahan. Dengan menjauhi praktik-praktik mahar yang tidak sesuai dengan syariat, kita bisa memastikan bahwa mahar tetap menjadi simbol penghormatan dan komitmen dalam ikatan suci pernikahan. 

Semoga artikel ini bisa memberikan pemahaman yang lebih mendalam tentang mahar dalam Islam, dan membantu kamu untuk melaksanakan pernikahan yang sesuai dengan prinsip-prinsip agama.


Foto cover: Morden via Seserahan Indonesia


Artikel Terkait



Artikel Terbaru