Your Smart Wedding Platform

Mengenal Tradisi Pernikahan Adat Aceh yang Penuh Warna dan Makna

22 Jul 2024 | By Wedding Market | 239

Berbicara tentang tradisi pernikahan di Indonesia yang begitu kaya akan adat istiadat dan budaya, Aceh menjadi salah satu provinsi yang menyumbang khazanah tersebut. Provinsi yang terletak di ujung utara Pulau Sumatera ini, memiliki karakteristik budaya adat yang berbeda dari provinsi tetangganya. Salah satunya dalam adat pernikahan Aceh yang unik dan khas, penuh warna!

Beragam etnis dan suku yang berdiam di Aceh memberikan warna pada budaya masyarakatnya. Setidaknya di provinsi yang dijuluki ‘Bumi Serambi Mekah’ ini ada 12 suku bangsa asli yang tersebar secara merata di hampir seluruh wilayahnya. Suku Aceh adalah suku terbesar yang mendiami Langsa mulai dari wilayah pesisir timur utara, hingga Trumon di pesisir barat selatan. 

Selain itu, ada suku Gayo, Alas, Tamiang, Aneuk Jamee, Kluet, Singkil, Devayan, Sigulai, Lekon dan Haloban yang mendiami wilayah-wilayah lainnya di Aceh. Tak hanya itu, beragamnya budaya yang mewarnai di Aceh juga mendapat pengaruh dari suku-suku lain yang dibawa oleh masyarakat pendatang, seperti suku Minangkabau, Jawa, Batak, Arab, Karo, Nias, Tionghoa dan Tamil. 

Tahap-tahap dalam Pernikahan Adat Aceh


Bukti nyata bahwa masyarakat Aceh masih mempertahankan dan menjunjung tinggi tradisinya bisa kita lihat dalam prosesi perkawinan adat Aceh yang sangat unik dan khas. Seperti lazimnya pernikahan adat yang lainnya, tradisi pernikahan adat Aceh pun terdiri dari serangkaian prosesi yang sudah dimulai sebelum pernikahan dilangsungkan. Prosesi adat yang tak hanya berupa seremonial, tapi juga menyimpan makna dan filosofi tersendiri.

Mari kita jelajahi dan selami lebih dalam rangkaian prosesi upacara pernikahan adat Aceh yang penuh warna ini setahap demi setahap. 

1. Lamaran atau antar sirih (Jak ba ranup)


Prosesi paling awal dari rangkaian panjang tahap demi tahap dalam pernikahan adat, selalu dimulai dengan pinangan atau lamaran pernikahan. Dalam adat Aceh, tradisi lamaran ini disebut dengan Jak ba ranup. Berasal dari kata ‘ba’ yang berarti membawa dan ‘ranup’ yang berarti sirih, istilah ‘ba ranup’ berarti membawa sirih atau antar sirih (mengantar sirih). 

Dalam berbagai adat, sirih sering kali digunakan sebagai simbol atau media untuk memuliakan tamu. Dalam tradisi adat Aceh sendiri, prosesi ‘antar sirih’ ini menjadi momen melamar seorang wanita untuk dinikahi. Selain menggunakan media sirih, tradisi ba ranup sering kali disertai dengan membawa seserahan berupa kue-kue hantaran tradisional dan dan lainnya.


Dalam beberapa kasus mereka yang dijodohkan, sebelum menuju ke ba ranup, ada tahapan mencarikan jodoh oleh “seulangke” (perantara atau utusan). Ini adalah langkah untuk menemukan pasangan bagi seorang laki-laki dewasa, di mana pihak mempelai laki-laki akan mengirimkan utusan dari keluarganya yang pandai berbicara dan dirasa bijak untuk mengurusi perjodohan ini. 

Perjodohan sendiri adalah hal yang lazim bagi masyarakat Aceh. Apabila seulangke telah menemukan kandidat yang dirasa tepat untuk sang putra, kemudian ia akan memastikan status sang wanita belum ada yang memiliki. Apabila demikian, barulah ia akan menyampaikan maksud ingin melamar sang wanita kepada pihak keluarganya. 

Setelah musyawarah dan mufakat, kedua belah pihak setuju untuk menjodohkan putra dan putrinya, kemudian barulah berlanjut ke tahap ba ranup.  Di hari yang telah disepakati bersama, kemudian rombongan dari pihak mempelai pria akan berkunjung ke kediaman mempelai wanita dengan membawa sirih (ranup)  beserta kelengkapannya. 

Pihak pria pun menyampaikan keinginannya untuk menjadikan sang wanita sebagai istri untuk putranya, dan kemudian dari pihak wanita akan memberikan jawaban setuju atau tidaknya setelah berdiskusi dengan sang putri. Jika pihak wanita setuju, maka lamaran ini akan berlanjut pada pertunangan yang disebut Jak ba tanda

2. Pertunangan atau antar tanda (Jak ba tanda


Tahapan lanjutan setelah jak ba ranup adalah jak ba tanda, yaitu prosesi antar tanda atau pertunangan dalam adat Aceh. ‘Jak’ artinya pergi, ‘ba’ berarti membawa/mengantar dan ‘tanda’ artinya tanda, maksudnya di sini adalah mengantar tanda (antar tanda). Tanda yang dimaksud berupa cincin dan barang-barang lainnya seperti seserahan, yang menjadi pertanda bahwa wanita tersebut sudah dipinang. 

Barang seserahan yang diantarkan oleh pihak pria biasanya berupa makanan tradisional khas Aceh seperti buleukat kuneeng (ketan kuning), aneka buah-buahan, seperangkat pakaian, dan atau perhiasan sesuai kemampuan dari pihak mempelai pria. 

Uniknya, ada aturan tak tertulis tentang pemutusan ikatan pertunangan dalam adat Aceh ini. Bila suatu saat terjadi pembatalan pertunangan dari pihak wanita, maka seserahan yang diserahkan ini wajib dikembalikan dua kali lipat. Namun sebaliknya, apabila pihak pria yang memutuskan ikatan pertunangan, maka seserahan tersebut dianggap hilang atau tidak perlu dikembalikan. 

Selain itu, di hari pertunangan ini, kedua belah pihak juga akan melakukan peukong haba, ‘peukong’ artinya ‘perkuat’ dan ‘haba’ artinya ‘pembicaraan’, atau memperkuat tanda jadi. Pembicaraan di sini maksudnya adalah musyawarah tentang persiapan pernikahan, yang meliputi penentuan tanggal pernikahan, seberapa besar mahar pernikahan (jeulamee), serta jumlah tamu undangan. 

3. Malam Berinai (Meugaca atau Boh gaca)


Tradisi unik lainnya dalam adat Aceh adalah menjelang pesta pernikahan, biasanya tiga hari tiga malam berturut-turut sebelum hari H diadakan upacara meugaca atau boh gaca, yaitu memakai inai. Dahulunya, kedua mempelai baik calon pengantin wanita maupun calon pengantin pria, melakukan tradisi ini. Namun seiring waktu, hanya mempelai wanita saja yang menjalani prosesi memakai inai ini. Tradisi ini mendapat pengaruh dari budaya India dan Arab yang juga berkembang di Aceh. 


Ada sedikit perbedaan tentang pelaksanaan ritual adat malam boh gaca ini pada beberapa wilayah di Aceh Barat, Aceh Tengah, Aceh Utara dan lainnya. Namun secara umum dilakukan beberapa ritual antara lain: peusijuek atau pemberian tepung tawar kepada calon pengantin wanita (dara baroe), peusijuek gaca,  batee meupeh (batu giling), yang berarti memberi dan menerima restu serta mengharapkan keselamatan. Seluruh prosesi yang dilakukan pada malam boh gaca tersebut bertujuan untuk mendoakan agar kedua mempelai mendapatkan kebahagiaan dan dimudahkan rezekinya. 

4. Ijab Kabul  


Seperti yang telah diketahui, Aceh adalah daerah yang kental dengan pengaruh Islam.  Sebagaimana pernikahan dalam Agama Islam yang mewajibkan ijab qabul secara mutlak sebagai syarat sah perkawinan, dalam upacara adat nikah Aceh pun juga demikian. Pada zaman dahulu, ijab kabul tersebut dilaksanakan di meusanah (musholah) atau di KUA tanpa dihadiri oleh mempelai wanita. 

Di zaman sekarang, akad nikah bisa dilakukan di mana saja, termasuk yang popule dilakukan di masjid-mesjid besar, seperti Masjid Raya Baiturrahman. Akad nikah ini pun bisa dihadiri oleh kedua calon pengantin beserta keluarga serta undangan lainnya. Tentunya, harus ada wali nikah, penghulu, saksi nikah dan juga pihak keluarga. 


Sebelum prosesi ijab qabul, Tengku Kadhi sebutan untuk petugas KUA, akan memeriksa jeulamee (maskawin) bersama ahli waris dari mempelai pria, yang diserahkan oleh pihak mempelai pria yakni orang tua atau ahli warisnya. Selain jeulamee, pihak mempelai pria juga menyerahkan berbagai macam barang bawaan atau seserahan seperti pakaian, makanan, alat kosmetik dan sebagainya. Semua seserahan tersebut dibungkus dengan cantik dan rapi dalam nampan atau talam yang ditutup dengan seuhap (kain penutup dengan motif khas Aceh).

Sekilas tentang mahar pernikahan Aceh



  • Mahar atau jeulamee dalam bahasa Aceh, biasanya berupa emas dan uang. 
  • Jumlah dan besarannya berbeda di tiap tempat di Aceh. Misalnya di Aceh Barat, mahar emas yang diberikan sesuai kesepakatan, jumlahnya antara belasan sampai puluhan mayam (satuan nilai emas). Sementara itu di Aceh Timur, mahar yang diajukan di bawah belasan mayam, tapi ditambah dengan uang atau disebut "peng angoh". Uang ini kemudian akan digunakan untuk membantu pihak wanita dalam menyelenggarakan pesta dan membeli isi kamar pengantin. 
  • Mengenai penetapan jumlah mahar biasanya ditentukan berdasarkan permintaan pihak perempuan. Lazimnya antara kakak beradik memiliki mahar yang jumlahnya terus naik atau minimal sama. Namun, semua hal tentang mahar ini tidak bersifat mutlak, artinya masih dapat berubah-ubah sesuai kesepakatan kedua belah pihak.

Kemudian barulah ikrar ijab qabul dilaksanakan dengan lafaz nikah berbahasa Aceh yang berbunyi:  “ulon tuan peu nikah aneuk lon (apabila ayah mempelai wanita yang menikahkan)….(nama mempelai wanita), ngon gata ….(nama mempelai pria), ngon meuh…..(jumlah maskawin atau mahar yang telah disepakati).”

Selanjutnya sang mempelai pria akan mengucapkan:  “ ulon teurimong nikah ngon kawinnya …(nama mempelai wanita), ngon meuh ….  (jumlah mahar) mayam, tunai.”  Di beberapa tempat bisa jadi ada perbedaan kata-kata ijab qabul, karena menyesuaikan dengan kesepakatan atau adat istiadat setempat. 

Setelah ijab kabul terlaksana, kemudian dilanjutkan dengan pesta pelaminan, baik pada hari yang sama maupun hari lainnya. Acara ini disebut dengan istilah “tueng linto baro”, tujuannya untuk merayakan kebahagiaan atas pernikahan dan juga memperkenalkan kedua mempelai kepada seluruh kerabat. 

5.  Tueng Linto Baroe/Woe Linto 


Tibalah pada acara yang dinanti-nanti yaitu acara “Tueng Linto baroe” atau menerima pengantin pria. “Tueng” berarti menerima, “linto” berarti laki-laki, dan “baroe” artinya baru. Dengan kata lain, pihak pengantin wanita menerima pengantin pria secara hukum adat atau tradisi Aceh. Dalam acara ini, pihak mempelai pria datang ke tempat pesta tersebut bersama rombongan keluarga dan kerabatnya. Berikut beberapa tahapan yang dilakukan pada hari acara tueng linto baroe ini:

  • Sungkeman memohon restu orang tua

Sebelum pihak rombongan mempelai pria ini tiba dan bersanding di pelaminan bersama mempelai wanita, si pengantin wanita yang telah berhias lengkap dengan busana pernikahan adat, ia  terlebih dahulu akan dibimbing menghadap kedua orangtuanya untuk sungkem. Begitu pula sang pengantin pria, ia terlebih dahulu akan sungkem memohon restu di hadapan orangtuanya sebelum pergi bersama rombongan menuju ke tempat pesta dilangsungkan.

  • Rah gaki (membasuk kaki)

Sesampainya pengantin pria bersama rombongan di tempat pernikahan, mereka dipersilakan masuk dan kemudian diserahkan pada tetua adat dari mempelai wanita. Kemudian ia akan dipayungi oleh tetua adat dan selanjutnya diarahkan untuk rah gaki (membasuh kaki). Ritual ini merupakan perlambang bahwa ketika ketika memasuki kehidupan rumah tangga, harus dalam keadaan suci baik lahir maupun batin. 

  • Seumah (sungkem)

Selanjutnya, pengantin wanita akan dibimbing untuk menyambut pengantin pria dengan melakukan seumah atau sungkem  kepada suaminya itu. Ritual ini menjadi tanda hormat dan penuh pengabdian.

  • Idang bu bisan 

pihak mempelai wanita kemudian akan menyuguhkan hidangan khusus yang dinamakan “idang bu bisan”. “Idang” artinya hidangan, “bu” artinya nasi dan “bisan” berarti besan. Dengan kata lain ini adalah hidangan nasi yang disajikan khusus untuk menyambut besan. Seusai menyantap hidangan tersebut, rombongan dari linto baroe (mempelai pria) pun akan meminta izin untuk kembali pulang, sementara sang pengantin pria tetap akan tinggal untuk bersanding di pelaminan hingga acara usai. 

Dalam upacara penyambutan linto baroe ini, biasanya sering kali diiringi dengan tarian ranup lampuan yaitu tarian penyambutan tamu dalam adat masyarakat Aceh, serta tradisi berbalas pantun.

6.  Tueng dara baroe (mengundang mempelai wanita)


Nah, kalau di Jawa ada tradisi ngunduh mantu, di Aceh disebut tueng dara baroe artinya mengundang mempelai wanita. Pada prinsipnya tradisi ini sama seperti ngunduh mantu, di mana pihak mempelai pria atau linto baroe mengundang mempelai wanita bersama rombongan keluarganya ke kediaman mereka. Pelaksanaan tradisi tueng dara baroe ini biasanya dilakukan berselang seminggu setelah upacara tueng linto baroe atau woe linto dilaksanakan. 

Dalam tradisi ini, biasanya dara baroe akan didampingi oleh satu atau dua orang tua adat. Mereka juga datang membawa hadiah berupa kue-kue tradisional khas Aceh yang sudah ditata rapi dalam talam atau dalong (tudung saji) bertutupkan seuhap (kain penutup khas aceh bersulam benang emas). 

  • Penyambutan dengan breuh padee

Tiba di gerbang kediaman mempelai pria, pihak rombongan mempelai wanita (dara baroe) akan disambut dengan taburan breuh padee  (beras padi), bungong rampoe (bunga rampai), dan on seuneujeuk (daun untuk tepung setawar).   

  • Tidak ada balas pantun dan cuci kaki

Pada dasarnya penyambutan dara baroe ini sama saja dengan upacara tueng linto baroe. Namun, bedanya tidak ada prosesi berbalas pantun maupun cuci kaki dalam tradisi ini. 

Itulah dia rangkaian prosesi dalam adat pernikahan masyarakat Aceh, begitu sakral dan sarat makna dan filosofis. Besar harapan kita, semoga generasi muda terus ikut melestarikan prosesi ini sebagai bentuk penghormatan terhadap tradisi leluhur, serta menjaga khazanah budaya Indonesia secara umum.


Referensi: Sekretariat Majelis Adat Aceh | aceh.prov.go.id


Artikel Terkait



Artikel Terbaru